Cara Unik Masyarakat Bali Dan Sumbawa Bersaudara

Tari Periri Sesamungan ini kental dengan budaya masyarkat Bali dan masyarakat suku Sasak..

Ada banyak cara yang dapat di lakukan untuk mempersatukan segala perbedaan. Perbedaan- perbedaan seperti latar belakang, aliran keyakinan, ataupun budaya adalah hal- hal yang akan menjadi kekuatan tersendiri jika disatukan. Hal tersebut juga dilakukan oleh masyarakat Bali dan masyarakat Sumbawa yang mengesampingkan segala perbedaan melalui sebuah seni tari.
Persatuan adalah kekuatan yang sangat sulit untuk dilemahkan. Itulah mugkin hal yang menjadi alasan bagi masyarakat Sumbawa dan masyarakat Bali untuk hidup secara bersama- sama. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Bali dan masyarakat Sumbawa yang mayoritas masyarakat suku Sasak pernah terlibat konflik yang terjadi berulang- ulang. Tapi kini mereka telah menemukan cara unik untuk menyelesaikan konflik mereka, yaitu dengan Tari Periri Sesamungan.
Bagi masyarakat Bali dan Sumbawa, tari Periri Sesamungan adalah simbol dari persatuan, persaudaraan, dan kekeluargaan diantara mereka. Karena sesuai dengan nama asal tari tersebut yang berasal dari bahasa Lombok yang bermakna Memperbaiki Hubungan. Itulah kenapa tari Periri Sesamungan ini kental dengan budaya masyarkat Bali dan masyarakat suku Sasak.
Seperti misalnya untuk ide dasar garapan tari yang sangat kental dengan tari tradisional Lombok. Ide- ide tersebut dapat terlihat dari musik pengiring dan estetika gerak tari tersebut. Dari segi busana dan aksesori, tari Periri Sesamungan ini sangat kental dengan budaya masyarakat Bali. Itulah kenapa tari Periri Sesamungan jika dilihat hanya dari busana, tidak terlalu jauh hubungannya dengan tari tradisional Bali. Namun jika dilihat lebih dekat, akan terlihat kain tenun suku Sasak yang sangat khas yang semakin mempercantik penari Periri Sesamungan tersebut.
Tari Periri. Foto: indonesiakaya.com
Dibalik keindahannya, tari Periri Sesamungan juga memiliki sejarah yang panjang yang berawal dari konflik personal antara penduduk Bali dengan suku pribumi pulau Sumbawa yang merupakan suku Sasak. Namun karena kedua belah pihak menyadari bahwa konflik hanya menciptakan kerugian dan tidak menghasilkan apa- apa dan selalu kesusahan, hanya toleransi yang dapat menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Saling menghargai, saling menghormati, menjadi salah satu cara ampuh yang dapat menyelesaikan permasalahan yang mereka dihadapi. Dan terinspirasi dari tradisi lokal dalam memperbaiki hubungan, maka terciptalah tari Periri Sesamungan yang menggambarkan persaudaraan masyarakat dari Bali dan Sumbawa.
Ada banyak cara mudah untuk memecah persatuan suatu kelompok atau bangsa sekalipun. Hanya tinggal besarkan saja perbedaan yang ada dan banggakan diri sendiri secara berlebihan. Tapi tidak demikian dengan persatuan. Persatuan memerlukan sebuah kesepakatan antara dua atau lebih kelompok atas dasar kesadaran masing- masing. Yaitu kesepakatan untuk memahami satu pola pikir terhadap satu kejadian dan peristiwa.
Tari Periri Sesamungan dari Sumbawa adalah contoh dari satu simbol kesepahaman antara masyarakat Bali dan masyarakat suku Sasak yang ada di pulau Sumbawa. Dan tari Periri Sesamungan juga mengajarkan satu hal kepada kita, bahwa persatuan, persaudaraan, dapat di capai dengan cara apapun.


Sayanusantara



Referensi:
1. http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tari-perdamaian-dari-tanah-samawa


<< Sebelumnya                       Selanjutnya >>

Talawang, Identitas Lain Masyarakat Suku Dayak

Talawang merupakan simbol dari suku Dayak yang sangat menghargai warisan leluhurnya...


Tidak akan pernah ada habisnya cara untuk membahas kebudayaan asli tanah ibu pertiwi. Karena akan selalu ada hal untuk dibahas setelah hal lainnya selesai dibahas. Itulah kelebihan budaya Nusantara dibandingkan dengan budaya- budaya bangsa lainnya dan itulah yang menggambarkan Nusantara secara utuh. Seperti halnya yang dapat dilihat dalam Talawang yang merupakan benda adat masyarakat suku Dayak yang merupakan salah satu kebudayan asli tanah ibu pertiwi.
Talawang sama seperti mandau yang merupakan senjata tradisional masyarakat suku Dayak. Hal ini terjadi karena Talawang merupakan salah satu perlengkapan yang digunakan masyarakat suku Dayak untuk melindungi diri saat berperang. Sama halnya seperti mandau, Talawang merupakan benda budaya yang diyakini memiliki nilai magis tersendiri.

Talawang yang berfungsi sebagai perisai saat berperang, biasanya terbuat dari kayu ulin, kayu besi, atau kayu liat. Kayu- kayu tersebut dipilih karena diyakini memiliki kekuatan yang lebih dibandingkan kayu jenis lain sehingga mampu menangkal serangan apapun. Selain itu, ketiga jenis kayu ini juga terkenal dengan keringanan bobotnya. Kekuatan dan keringanan merupakan hal penting untuk sebauh perisai karena dinilai mampu memberikan perlindungan yang maksimal kepada prajurit perang dari serangan- serangan musuh mereka saat perang berlangsung.
Talawang. Foto: kamerabudaya.com
Dalam segi bentuk, Talawang sama seperti perisai pada umumnya. Berbentuk persegi panjang yang dikedua ujunganya meruncing. Pada umumnya, Talawang masyarakat suku Dayak memiliki ukuran panjang 1-2 meter dan memiliki lebar maksimal 50 centimeter. Selain bentuknya yang unik, sisi bagian luar Talawang juga sangat kental dalam menggambarkan masyarakat suku Dayak dengan adanya ukiran khas masyarakat suku Dayak.
Hampir secara keseluruhan bidang depan Tawalang biasanya di ukir berbentuk topeng (Huda). Dan adanya ukiran pada bagian depan Talawang di yakini memiliki kekuaan magis yang diyakini mampu memberikan kekuatan bagi siapa yang menggunakannya. Lukisan pada Talawang biasanya adalah berupa tulisan burung Tinggang yang merupakan burung yang dianggap suci oleh masyarakat suku Dayak. Selain lukisan burung Tinggang, terdapat pula ukiran Komang yang diyakini masyarakat Dayak sebagai perwujudan roh leluhur mereka. Motif Dayak di gambarkan dengan seeorang yang sedang duduk menggunakan cawat merah dan berwajah merah.
Tidak semua Talawang suku dayak sama dengan suku Dayak dari daerah lainnya. Namun walaupun seperti itu, Talawang merupakan simbol dari suku Dayak yang sangat menghargai warisan leluhurnya. Selain sebagai simbol penghormatan, Talawang juga dijadikan simbol sosial, hal ini terlihat bahwa terdapat ukiran yang menggambarkan flora dan fauna. Ini menggambarkan bahwa kehidupan masyarkat dayak sangat penting untuk menjalin hubungan yang harmonis antara alam dan manusia.

Talawang suku Dayak menggamarkan bahwa manusia tidak bisa hidup seorang diri tanpa adanya campur tangan alam sekitar, leluhur, ataupun manusia lainnya. Alam semesta adalah tentang kekuatan yang tidak terbatas, ajaran leluhur adalah cara agar manusia dapat bersinergi dengan alam semesta, dan manusia lainnya adalah persatuan, kebersamaan, persaudaraan, dan kekuatan itu sendiri. Hal ini karena semua manusia hidup saling ketergantungan satu sama lain dan cara untuk dapat terus hidup harmonis satu dengan yang lain, mereka dapatkan dari ajaran leluhur mereka yang masih mereka jaga sampai saat ini.


Sayanusantara


Referensi:
1. http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/talawang-pertahanan-terakhir-suku-dayak
2.  https://id.wikipedia.org/wiki/Talawang


<< Sebelumnya                     Selanjutnya >>

Mencermati Ajaran Leluhur Nusantara 2

Kehadiran sang Pencipta pada alam semesta menjadikan kemanapun manusia menghadap pasti dia akan bertemu dengan wajah dari sang Pencipta alam semesta itu sendiri


Semesta adalah kumpulan dari banyaknya misteri sebagai elemen utama dalam pembentukannya. Selalu tidak pernah sama banyaknya jumlah misteri yang berhasil dipecahkan antara satu orang dengan orang yang lainnya. Karena sesungguhnya alam semesta bukanlah apa yang ada diluar sana, melainkan apa yang bisa kita cium atau yang bisa kita lihat. Pikiran kita itulah semesta.
Semesta adalah sesuatu hal yang memiliki arti dan fungsi akan keberadaannya. Berada didalam satu sistem yang mengatur segala keseimbangan. Namun bagi orang yang tidak mengerti apa itu semesta, apapun yang dia lihat atau dengar atau rasakan atau alami semasa hidupnya didunia ini, semesta adalah kekosongan. Tidak memiliki arti sama sekali.
Semesta adalah kehidupan dan hanya hidup pada setiap orang yang mengerti akan kehadirannya. Bagi mereka yang mengerti, apapun yang dia alami semasa hidupnya selalu memiliki arti. Tidak ada yang terjadi secara kebetulan karena segalanya saling berkaitan. Itulah kenapa bagi mereka yang mengerti, semesta adalah segalanya. Karena dia penuh dengan segala hal.
Semesta adalah sesuatu yang diketahui oleh seorang menusia. Semakin dia tahu segala hal maka akan semakin luas pula semesta ini. Tetapi semakin sedikit yang diketahui maka seseorang pun tidak akan mendapatkan pembuktian bahwa semesta itu luas sampai dia menambah pengetahuannya itu. Bagi mereka yang berfikir, semesta adalah kumpulan dari gambaran sang Pencipta. Karena dia meyakini bahwa sang Pencipta selalu ada disetiap diri ciptaan-Nya.
Sama halnya dengan semisal sebuah brand sepatu olahraga yang terkenal. Pencipta dari brand sepatu tersebut menandai sepatu yang berhasil dibuatnya dengan tanda ‘cheklis’ sebagai gambaran akan dirinya. Sehingga akhirnya sekarang setiap orang yang memakai sepatu dengan tanda ‘cheklis’ itu pasti akan mengingat gambaran dari pencipta brand tersebut. Tanda ‘cheklist’ tersebut secara tidak langsung menjadi gambaran dari pembuatnya.
Kehadiran sang Pencipta pada alam semesta menjadikan kemanapun manusia menghadap pasti dia akan bertemu dengan wajah dari sang Pencipta alam semesta itu sendiri. Hal ini terjadi karena manusia merupakan bagian dari alam semesta itu juga. Wajah adalah gambaran dari sang pemilik wajah tersebut. Sehingga kemanapun manusia menghadapkan wajahnya, dia akan menemukan gambaran sang Pencipta alam semesta itu berada di setiap benda yang ada di alam semesta. Batu itu kuat dan itulah gambaran dari sang Pencipta; kuat. Air itu sumber kehidupan dan itulah gambaran dari sang Pencipta; sumber kehidupan. Langit itu tinggi dan itulah gambaran dari sang Pencipta; bahwa Dia maha tinggi.
Kepulauan Nusantara. Gambar: sewarga.com
Parcaya atau tidak ternyata konsep ini pernah diyakini oleh leluhur bangsa Nusantara. Seperti yang pernah dijelaskan dalam sejarah kontemporer yang banyak menyatakan bahwa leluhur bangsa Nusantara adalah penyembah alam. Atheis kah mereka?
Banyak sumber yang menyatakan bahwa leluhur bangsa Nusantara memiliki keyakinan untuk menyembah gunung, pohon besar, atau hal semacamnya. Hal itupun semakin terbukti dengan ditemukannya peninggalan- peninggalan mereka yang memperkuat pernyataan diatas. Apa benar mereka tidak mengetahui keberadaan sang Pencipta? Bagi mereka yang yang tidak memiliki pemahaman atau pengetahuan yang terbatas, mungkin itu benar. Tapi bagi mereka yang mencoba memahami hal tersebut, mungkin hal itu akan menjadi tidak benar.
Jika diperhatikan, dari banyaknya benda- benda yang menjadi tempat pemujaan leluhur, terdapat beberapa persamaan. Seperti besar dan tua. Tua disini adalah gambaran dari kuat. Karena jika benda yang tua dan sampai kini masih ada, itu menandakan bahwa benda itu adalah benda yang kuat. Itulah kenapa leluhur bangsa Nusantara menyembah alam semesta seperti bulan, matahari, gunung, atau semacamnya. Dan jika memang seperti itu, ini menandakan bahwa leluhur kita sudah memiliki pemikiran yang logis karena sudah mampu membandingakan satu benda dengan benda yang lainnya. mereka tidak seprimitif yang pernah kita pikirkan.
Pernah menonton film The Minions? Mungkin kurang lebih dapat dikatakan seperti itu karena mereka mencari sosok yang kuat dan tidak terkalahkan yang dapat menjadi penutan serta melindungi mereka. Dan leluhur kita menemukan sosok itu ada didalam bentuk benda yang ada di alam semesta semisal gunung, bulan, matahari atau semacamnya tadi. Mereka meyakini bahwa benda- benda itu adalah sosok yang sangat kuat yang dapat melindungi mereka. Misalnya gunung. Karena bentuknya yang besar, menjadikan mereka selalu dapat melihat gunung dimanapun mereka berada. Mereka merasa diawasi. Begitu juga dengan mereka yang menyembah matahari atau bulan. Tetapi sebenarnya mereka tidaknya menyembah itu semua dalam arti menjadikan benda- benda tersebut sebagai Tuhan. Seperti tuhan gunung, tuhan matahari atau tuhan bulan. Mereka hanya menjadikan benda- benda alam itu sebagai simbol dari Tuhan.
Sedangkan ritual- ritual yang dilakukan oleh mereka adalah sebagai sarana pengingat bahwa mereka memiliki Pencipta dan sarana untuk dekat dengan-Nya. Dan karena mereka meyakini benda- benda tersebut dapat melindungi mereka, merekapun kemudian melakukan sejenis ‘syukuran’ atas kebaikan sang Pencipta kepada mereka. Dan jika terjadi sebuah bencana, sudah pasti mereka akan mulai mengira- ngira bahwa bencana itu merupakan sebuah bentuk dari sang Pencipta yang sedang marah kepada mereka karena ada yang salah dengan aktifitas mereka. Artinya, secara tidak langsung dengan adanya simbol- simbol dari sang Pencipta ini menjadikan leluhur kita menjadi sosok yang rendah diri karena mereka meyakini bahwa terdapat kekuatan besar yang sedang mengawasi mereka.
Apa yang dilakukan oleh leluhur kita ini berlangsung sampai bergenerasi selanjutnya. Hingga akhirnya apa yang mereka ajarkan dijadikan sebuah pakem atau aturan adat yang mengikat oleh generasi penerus mereka. Oleh karena itu banyak di desa- desa adat, peninggalan leluhur mereka ditemukan dalam keadaan terawat dengan baik. Fungsinya adalah untuk mengingatkan mereka kepada ajaran nenek moyang mereka. Begitulah seterusnya, setidaknya sampai aliran kepercayaan mainstream menyentuh mereka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh aliran kepercayaan mainstream sangat kuat terasa pada jalannya perkembangan kehidupan leluhur kita. Karena aliran- aliran itulah yang mengenalkan kepada mereka tentang sosok dari sang Pencipta itu. Mereka menjelaskan bahwa bahwa gunung, batu, bulan, matahari, atau apapun yang disembah oleh leluhur adalah sebuah ciptaan dari Tuhan. Dan aliran- aliran itulah yang mengenalkan bahwa Tuhan dikenal dengan banyak nama. Namun walaupun dikenal dengan banyak nama, Tuhan itu tetaplah satu dan Dia ada dimana- mana. Dari pemahaman inilah kemudian kegiatan penyembahan gunung, bulan, atau benda- benda alam lainnya mulai ditinggalkan. Dan mungkin berawal dari sanalah kemudian mereka yang masih memegang erat tradisi leluhur dianggap tidak mengenal Tuhan.
Jadi yang terjadi sebenarnya adalah kesalahpahaman. Ada hal yang tidak diketahui satu pihak dari pihak lainnya. Padahal, semuanya adalah satu pokok yang sama. Karena pada essensinya semua aliran kepercayaan, apapun itu atau dari manapun asalnya, pastilah mengajarkan tentang kebaikan dalam berhubungan. Baik hubungan antara manusia dengan Penciptanya atau hubungan manusia dengan manusia lain dan alam sekitarnya.
Berhenti bersifat fanatik terhadap satu aliran kepercayaan dengan mendeskriditkan aliran lainnya. Karena itu sudah pasti bertolak belakang dengan fungsi agama itu sendiri. Karena agama adalah ajaran tentang keteraturan dan keseimbangan. Sesuai dengan filosofinya, a; tidak, gama; kacau. Jadi orang yang beragama adalah orang yang kehidupannya teratur dan tidak membuat kekacauan atau kerusakan.
Hargailah orang lain yang berbeda paham dengan kita. Indonesia bersatu karena adanya perbedaan. Behenti mengatakan mereka salah dan kita benar jika perkataan itu selalu berakhir kepada perpecahan. Jangan biarkan Indonesia hancur dari dalam karena adanya perbedaan. Ini Nusantara Kita.

mencermati ajaran leluhur bagian 1. Klik disini


Sayanusantara

Sebagai Perlindungan, Suku Di Papua Membuat Rumah Kaki Seribu

Rumah kaki seribu atau yang dalam bahasa sekitar dikenal dengan nama Mod Aki Aska atau juga Igkojei yang dibangun oleh suku Arfak sangatlah berbeda dengan rumah- rumah lainnya..


Untuk dapat hidup dan bertahan hidup, makhluk hidup harus memenuhi beberapa hal penting yang akan menunjang hidupnya. Seperti misalnya makanan dan minuman, tempat tinggal, ataupun reproduksi. Hal inipun juga berlaku untuk kehidupan manusia dimanapun dia berada. Seperti misalnya kebutuhan akan tempat tinggal yang menyangkut kepada kemanan manusia itu sendiri.
Bentuk rumah atau tempat tinggal sangat beragam karena dipengaruhi oleh banyak hal. Misalnya saja budaya ataupun tempat dimana rumah itu dibangun. Karena rumah yang dibangun didaerah dengan suhu rendah sudah pasti tidak akan sama bentuknya dengan rumah yang dibangun didaerah dengan suhu udara tinggi. Dan salah satu hal yang membedakan perbedaan bentuk rumah satu dengan rumah yang lainnya terkadang adalah dari segi fungsi dari rumah tersebut. Seperti misalnya rumah suku Arfak yang memiliki bentuk dan fungsi yang berbeda dengan rumah pada umumnya ditempat lain.
Masyarakat suku Arfak merupakan masyarakat suku terbesar yang berada di Manokwari, Papua. Sebagai suku terbesar, ternyata suku Arfak juga terdiri dari banyak sub suku yang membentuknya. Seperti misalnya sub suku Suogb, Hatam dan Meyah. Namun walaupun terdiri dari banyak sub suku, budaya dan tradisi mereka masihlah sama. Yang membedakan satu sub suku dengan sub suku lainnya hanyalah perbedaan bahasa. Meskipun begitu, perbedaan bahasa tidak menjadikan mereka saling berjauhan karena pada dasarnya mereka saling mengerti satu sama lain.
Rumah Kaki Seribu. Foto: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Rumah kaki seribu atau yang dalam bahasa sekitar dikenal dengan nama Mod Aki Aska atau juga Igkojei yang dibangun oleh suku Arfak sangatlah berbeda dengan rumah- rumah lainnya. Terutama dalam segi bentuk. Sama seperti rumah adat lain yang berada tidak jauh dari alam liar, rumah suku Arfak juga dibangun berbentuk panggung. Perbedaan bentuk rumah kaki seribu terlihat dari tidak adanya jendela didalam rumah tersebut. Sebagai akses keluar masuk, rumah ini hanya memiliki dua pintu.
Bukan tanpa alasan rumah ini dibangun dengan bentuk seperti itu. Bentuk rumah yang berbentuk panggng berguna unuk melindungi penghuni rumah dari ancaman hewan liar. Dan bentuk rumah yang hanya memiliki dua buah pitu dan tanpa jendela berguna agar penguni rumah dapat mengontrol siapa saja yang masuk atau keluar rumah mereka. Hidup didearah yang selalu terjadi pertikaian antara kelompok masyarakatnya menjadikan suku Arfak harus selalu menjadi suku yang waspada disetiap waktunya. Selain itu, rumah yang dibangun tanpa jendela ini menjadi perlindungan bagi penghuninya dari serangan udara dingin.

Rumah adat suku Arfak ini dikenal sebagai rumah kaki seribu bukan tanpa alasan. Yaitu karena banyaknya tiang yang menyangga bangunan rumah ini. Rumah kaki seribu yang biasanya dibangun dengan ukuran luas kuran lebih 8x6 meter disangga oleh tiang- tiang yang hanya berjarak 30 cm antara satu tiang dengan tiang yang lainnya.
Selain dikenal dengan bentuk rumahnya yang unik, suku Arfak juga dikenal dengan tari ularnya. Sama seperti tarian pada umumnya yang mengikuti irama dari lantunan musik yang mengiringinya. Yang berbeda hanya gerakan dari para pemainnya saja yang meliuk- liuk seperti ular. Biasanya tarian ini digelar ketika ada pesta pernikahan, penyambutan tamu, ataupun acara- acara khusus lainnya. Diikuti oleh banyak orang, baik tua ataupun muda, gerakan yang meliuk- liuk, saling mneghimpit, saling bergandengan tangan, melompat, menghentak tanah, menjadikan tarian ini sangat menarik dan atraktif untuk dilihat.
Suku Arfak adalah salah satu suku diantara banyaknya suku yang ada di Indonesia. Dan suku Arfak menjadi bukti bahwa perbedaan- perbedaan yang ada diantara mereka bukanlah dijadikan pembeda atau alasan untuk saling menjauhi. Karena walaupun perbedaannya sangat terasa diantara mereka, tetap saja akan selalu ada banyak hal yang mempersatukan mereka dibanding satu perbedaan yang nampak.


sayanusantara


Referensi:
http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/rumah-kaki-seribu-khas-suku-arfak
http://papuabarat.net/mengenal-suku-arfak/


<< Sebelumnya                Selanjutnya >>

Tari Salai Jin Ternate, Cara Manusia Berhubungan Dengan Makhluk Halus

Tari Selai Jin digunakan sebagai sarana manusia berkomunikasi dengan makhluk gaib

Dari banyaknya kearifan lokal yang ada di Indonesia, ternyata masih sangat banyak tradisi yang masih menjadi misteri sampai dengan saat ini. Tradisi tersebut biasanya diyakini oleh masyarakat adat yang sangat berkaitan erat dengan aliran kepercayaan yang mereka yakini. Seperti misalnya tarian Salai Jin dari Ternate.
Tarian Salai Jin merupakan sebuah kesenian asli dari Ternate yang sudah lama di kenal oleh masyarakatnya. Sesuai dengan namanya, tarian ini sangat erat kaitannya dengan hal- hal yang berbau mistis. Dan karena memiliki sifat kemistisan inilah, tari Salai Jin tidak bisa dimainkan oleh sembarang orang.
Tari Salai Jin. Foto: indonesiakaya.com
Orang yang memainkan tari Salai Jin haruslah orang yang memiliki keahlian khusus. Keahlian khusus ini dipergunakan untuk menangkal serangan dari makhluk halus. Penari yang tidak memiliki keahlian khusus dalam menarikan tarian Salai Jin biasanya akan kerasukan makhluk halus dan akan melakukan hal yang tidak di sangka- sangka sebelumnya.
Tarian Salai Jin yang sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Ternate ini bukanlah tanpa alasan kenapa diciptakan. Dan sesuai namanya, tari Salai Jin digunakan sebagai sarana manusia berkomunikasi dengan makhluk gaib. Tujuan dari komunikasi ini lebih sering untuk meminta bantuan atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Ternate, seperti misalnya permasalahan penyakit.
Pulau Ternate sendiri merupakan sebuah pulau yang sangat dipengaruhi oleh iklim laut. Iklim laut ini memiliki dua macam iklim yang juga seringkali diselingi oleh dua musim pancaroba disetiap tahunnya. Pengetahuan akan ilmu kesehatan dan pengaruh dari dua musim pancaroba di setiap tahun inilah yang mungkin menjadikan masyarakat tradisional Ternate pada masa lalu mengadakan tradisi Salai Jin.
Namun seiring perkembangan waktu, ternyata tari Salai Jin juga mulai kehilangan daya mistis. Pasalnya, kini tari Salai Jin dijadikan sebuah atraksi pariwisata di Ternate seperti misalnya saat menyambut tamu- tamu kenegaraan yang datang ke Ternate. Tidak hanya itu, tarian inipun juga mengalami beberapa perubahan lainnya. Penari bisa siapa saja bahkan mereka yang tidak memiliki keahlian khusus, bakaran kemenyan diganti menjadi bakaran arang batok kelapa, dan pakaian penari sudah di modernisasi dan berwarna- warni menjadi beberapa tanda perkembangan jaman juga sudah menyentuh tradisi ini.
Berjalannya waktu ternyata mampu mengubah setiap persepsi yang ada akan sesuatu. Sains dan teknologi pun mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapi. Dan dari tari Salai Jin ini kita akan mengetahui bahwa segalanya mampu untuk berkembang menuju sebuah perubahan. Inilah yang mungkin dapat kita lakukan untuk menjaga kearifan lokal asli Indonesia agar tidak hilang, mengenali perubahan yang terjadi tanpa meninggalkan apa yang sudah kita miliki. Karena seperti tari Salai Jin yang sangat berharga, kebudayaan Indonesia yang lainnya sangatlah berharga untuk dipertahankan agar kebudayaan tersebut tidak hilang dan hanya menjadi tulisan atau cerita semata. Mari jaga Indonesia, Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara

Referensi:
http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tari-salai-jin-yang-mistis-dan-keberadaannya-kini
http://www.kompasiana.com/inspiree/tarian-mistis-salai-jin-dari-ternate-di-maluku-utara_570f35f709b0bdf904218e4b
https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Ternate


<< Sebelumnya               Selanjutnya >>

Mumi, Simbol Kekuatan Masyarakat Lembah Baliem Papua

Leluhur atau nenek moyang adalah sosok penting didalam kehidupan manusia. Karena dari mereka itulah manusia- manusia yang ada pada saat ini mendapatkan banyak pelajaran penting tentang tata cara hidup dan berkehidupan.


Banyak yang dilakukan oleh masyarakat tradisional Indonesia untuk tetap dapat berhubungan dengan leluhur mereka. Ada yang membuat semacam tugu peringatan ataupun menjadikan tempat dimana dahulu leluhur mereka sering berada menjadi tempat suci dan ritual. Hal inipun ternyata terjadi juga di tanah Papua, Lembah Baliem, yang menjadikan leluhur mereka mumi untuk terus berhubungan dengannya.
Leluhur atau nenek moyang adalah sosok penting didalam kehidupan manusia. Karena dari mereka itulah manusia- manusia yang ada pada saat ini mendapatkan banyak pelajaran penting tentang tata cara hidup dan berkehidupan. Itulah yang menjadikan banyak tempat di Indonesia ajaran leluhur masih digunakan didalam kehidupan sehari- hari dibandingkan ajaran- ajaran mayoritas mainstream yang ada.
Di Lembah Baliem, Papua, terdapat sebuah mumi yang kini usianya sudah lebih dari 250 tahun. Dan walaupun sudah berusia lebih dari 2 abad, keadaan mumi tersebut masihlah dalam keadaan baik karena selalu dirawat dengan baik. Nama mumi tersebut adalah Wimotok Mabel.

Wimotok Mabel bukanlah seorang biasa. Karena menurut riwayatnya, Wimotok Mabel adalah seorang panglima perang yang sangat terkemuka pada masa hidupnya dahulu. Bahkan konon Wimotok Mabel merupakan sosok yang sangat disegani yang namanya sangat dikenal melebihi banyaknya tempat dia pernah berperang semasa hidupnya.
Mumi Papua. Foto: brilio.net
Diseganinya sosok Wimotok Mabel tergambar jelas dari namanya. Wimotok adalah salah satu bahasa setempat yang menekankan akan status seseorang pada masanya hidup dahulu. Wim berarti perang, sedangkan Motok berarti pemimpin atau panglima atau jendral. Sedangkan Mabel sendiri adalah nama dari mumi tersebut. Dan Wimotok Mabel sendiri yang meminta mayatnya untuk di mumikan ketika dia meninggal.
Permintaan dari Wimotok Mabel pada masa hidup untuk memumikan jenazahnya kelak bukanlah tanpa alasan yang jelas. Melainkan dengan tujuan yang pasti dan sangat berpengaruh terhadap generasi penerusnya. Wimotok Mabel ingin sosoknya selalu dikenang oleh generasi selanjutnya karena reputasi yang dimilikinya. Wimotok Mabel adalah simbol dari kesejahteraan, kekuatan, keberanian, dan kesuksesan.
Membutuhkan waktu yang cukup lama dalam membuat satu mumi secara tradisional seperti yang dilakukan di Lembah Baliem ini. Seperti misalnya pada awal proses, jenazah yang akan dijadikan mumi akan dibalur dengan lemak babi dan diasapi selama lebih dari 150 hari di rumah tradisional masyarakat Papua, Honai. Pengasapan yang sangat lama tersebut akan menjadikan jenazah mengering, menghitam, dan mengeras.
Setelah di asapi dan menjadi keras, mumi kemudian dibungkus dengan daun pisang selama 5 tahun untuk menyempurnakan proses mumifikasi. Sedangkan dalam proses perawatan, mumi hanya dibalur kembali dengan lemak babi dan diletakkan di dekat api unggun disetiap malamnya. Proses yang memakan waktu lama ini terbukti menjadikan mumi tahan lama dan tidak dirusak oleh rayap.

Mumi Wimotok Mabel yang dijadikan simbol dari keberanian dan harga diri tersebut terbukti sangat ampuh untuk menjadikan generasi muda di daerah setempat memiliki mental dan kemampuan yang kuat dalam bertahan hidup ataupun pada saat berperang. Hal ini karena dengan adanya mumi Wimotok Mabel mereka menjadi selalu ingat dengan wibawa desa mereka yang merupakan desa yang kuat dan disegani.
Mumi Papua. Foto: brilio.net
Simbol merupakan sesuatu yang sangat sakral karena diyakini mampu menghubungkan manusia yang masih hidup dengan para pendahulunya yang sudah mati ataupun menghubungkan mereka dengan sang Pencipta. Namun simbol bisa dalam bentuk apa saja dan membutuhkan pemahaman tersendiri untuk mengetahui bahwa sebuah benda adalah simbol. Inilah yang banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional yang ada di Indonesia. Mereka membuat simbol.

Dari mumi Wimotok Mabel di lembah Baliem Papua kita mendapatkan pelajaran bahwa manusia tidak pernah bisa lepas dari ajaran leluhur mereka. Ajaran leluhur itulah yang menjadikan mereka yang masih hidup mengetahui siapa atau apa jati diri mereka sebenarnya. Walaupun jika dilihat dari sisi berbeda, keberadaan mumi ataupun simbol banyak ditentang oleh aliran kepercayaan mainstream karena bersentuhan langsung dengan penduaan Tuhan. Karena perbedaan pendapat inilah yang menjadikan banyak masyarkat tradisional yang ada di Indonesia menjauhi aliran kepercayaan mainstream ini.
Apapun yang diyakini oleh setiap orang ataupun setiap kelompok, terkadang hanya perlu pemahaman yang lebih dalam ketika melihat sebuah permasalahan untuk dapat mengerti mengapa ada orang atau suatu kelompok melakukan hal tersebut. Karena salah satu cara bersatunya Indonesia adalah dengan adanya bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Bahasa adalah persepsi. Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara


Referensi:
http://www.indonesiakaya.com/jelajah-indonesia/detail/tubuh-kering-di-lembah-baliem
http://marischkaprudence.blogspot.co.id/2013/01/mumi-panglima-perang-yang-menghidupi.html



<< Sebelumnya                   Selanjutnya >>

Mencermati Ajaran Leluhur Nusantara

Semua orang tahu bahwa negeri Nusantara terdiri dari banyak suku daerah yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dari sekian banyak perbedaan tersebut, terdapat sedikit persamaan. Dan uniknya persamaan yang dimiliki oleh setiap suku daerah ini mungkin lebih kuat dari pada persamaan dalam pemakaian bahasa dalam mempersatukan Indonesia.
Peta Nusantara. Gambar: atlantis-indonesia.org
Sampai saat ini, mungkin masih terdapat banyak suku- suku daerah yang ada didaerah- daerah yang belum tersentuh sehingga kita belum mengetahui sumber daya apa yang ada disana. Baik itu merupakan sumber daya alamnya ataupun sumber daya manusianya. Dan karena belum tersentuh, mungkin banyak pula dari kita yang tidak mengetahui bahwa ada tempat dan suku daerah yang unik di Indonesia yang kita tidak tahu bahwa itu ada di Indonesia. Dan inilah salah satu peran media, menyampaikan kepada khalayak tentang hal- hal yang tidak diketahui banyak orang. Sama seperti misalnya hal persamaan yang dimiliki oleh suku- suku daerah yang ada di Indonesia.
Jika kita membaca buku- buku sejarah yang ada sekarang, maka kita akan mengetahui bahwa mulai dari ujung paling barat pulau Sumatra sampai dengan ujung paling timur Papua, memiliki aliran kepercayaan atau keyakinan yang mengacu kepada keyakinan mereka terhadap leluhur atau nenek moyang mereka. Walaupun ajaran tersebut selalu dilaksanakan dengan cara yang berbeda- beda antara suku daerah dengan suku daerah lainnya, namun jika kita lebih memahami ajaran leluhur seperti apa itu, kita akan melihat bahwa terdapat sebuah persamaan yang sangat besar antara satu keyakinan dengan keyakinan yang lainnya.
Desa- desa tradisional misalnya, entah itu desa pasca jaman Megalitikum ataupun desa pra Megalitikum yang masih ada sampai saat ini, mereka sangat setia dengan ajaran leluhur mereka sehingga ajaran tersebut menjadi sebuah kebudayaan tersendiri bagi generasi mudanya dalam menjalani kehidupan sehari- hari. Ajaran leluhur mereka adalah tiga hal. Menjalin hubungan dengan sang Pencipta, menjalin hubungan dengan sesama manusia, dan menjalin hubungan dengan alam sekitar. Orang Hindu mengenal konsep ini dengan nama Tri Hita Kirana. Inti dari ajaran tersebut adalah; bahwa setiap individu manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan alam semesta (manusia dan alam sekitar) dengan cara saling menjaga, memelihara, dan mengolahnya sebagai wujud tanda syukur kepada sang Pencipta. Hanya saja inti dari ajaran tersebut dikenal dengan banyak nama oleh setiap suku daerah yang ada.
Tidak semua orang memahami inti dari ajaran leluhur ini. Bahkan mungkin para leluhur pun tidak mengerti tentang konsep ini walaupun mereka sebenarnya telah menjalankannya. Karena untuk mengerti hal ini terlebih dahulu seseorang harus mengenal seperti apa sang Pencipta itu bekerja.
Cara bekerja sang Pencipta sangat sederhana untuk dimengerti dan dipahami. Karena sebenarnya, seperti pendangangan para ahli spiritual, sang Pencipta itu berada dimana- mana. Pertanyaannya, kenapa kita tidak melihat-Nya? Sebenarnya kata yang tepat bukanlah ‘melihat-Nya’, tetapi ‘mengenali-Nya’. Maka pertanyaannya akan berubah menjadi; jika Dia ada dimana- mana, kenapa kita tidak mengenali-Nya? Jawabannya adalah; karena Dia yang berada di mana- mana, bukanlah Dia dalam bentuk fisik. Melainkan sifat atau karakter dari Dia. Umat islam mengenali 99 karakter dari Dia dengan nama Asma’ul Husna.
Seperti misalnya kita mengetahui bahwa sang Pencipta itu maha pengasih terhadap siapapun. Lalu apa hubungannya dengan Dia ada di mana- mana? Karena pada essensinya, dalam sejarah umat manusia, dalam kitab-Nya yang manapun, tidak ada cerita seorang manusia yang pernah melihat-Nya dalam bentuk yang sebenar- benarnya. Bahkan para nabi atau Rasul mendapatkan pelajaran tidak secara langsung dari-Nya, melainkan melalui utusan-Nya. Hanya beberapa saja dari nabi atau Rasul yang berbicara langsung kepada-Nya. Semisal Abraham atau Ibrahim dalam bahasa Arabnya. Bahkan Musa hanya melihat-Nya sebagai pohon besar yang daun- daunnya mengeluarkan api tanpa terbakar diatas gunung diawal kenabiannya. 
Kembali lagi, lalu bagaimana kita tahu Dia itu maha pengasih? Lihatlah alam semesta. Pernah melihat ada orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa pamrih? Itulah sifat-Nya yang maha pengasih. Tidak pernah memilih siapa atau apa yang akan dikasihi-Nya dan tidak pernah berharap apapun sebagai balasannya. Pernahkan kalian merasakan keadaan yang sangat sulit dan tiba- tiba ada seseorang yang datang kepada kalian dan memberikan apa yang kalian butuhkan tanpa mengharapkan apapun? Itulah sifat-Nya yang maha pengasih. Itulah kenapa setiap kita mendapatkan kemudahan atas segala sesuatu, para pemuka agama menyarankan kita untuk bersyukur atau berterima kasih kepada-Nya. Karena Dia meliputi segala sesuatu, termasuk kita. Atau pernahkah kalian melihat seekor burung menanam tanaman untuk dapat dimakan bijinya besok hari? Kenapa burung yang hidup secara liar yang sama sekali tidak melakukan apa- apa seperti yang dilakukan manusia dapat hidup sampai jauh dewasa? Itu karena Dia mengasihi burung itu lewat alam semesta.
Kapal Jung. Foto: Mongabay.co.id
Pernah tahu bahwa sang Pencipta memiliki sifat pembenci? Pernah melihat seperti apa orang yang membenci orang lainnya karena sesuatu hal? Pernah merasakan membenci orang lain atau sesuatu hal? Lalu bagaimana dengan sifat-Nya yang maha penyayang? Lihatlah bagaimana orang tua menyayangi anaknya sendiri melebihi anak orang lain. Lihatlah bagaimana seekor buaya yang sangat ganas menjadi sangat penyayang dan lemah lembut kepada anak- anaknya. Ingin melihat bagaimana sang Pencipta marah? Lihatlah bagaimana alam semesta ini ketika menyengsarakan kehidupan manusia dalam suatu bencana alam. Atau ingin membuktikan bahwa Dia itu maha pemurah? Lihatlah bagaimana alam semesta yang menjadi berkah bagi manusia atau bagaimana para petani puas dengan kerja kerasnya karena panen raya. Intinya adalah bahwa sang Pencipta tidak pernah bertemu secara langsung (mata tatap mata) dengan manusia. Kenapa? Karena Dia itu adalah Yang Maha Suci sedangkan manusia adalah tempat dosa dan segala kesalahan lainnya. Pantaskah kita yang penuh kesalahan dan dosa bertemu dengan Dia yang maha suci dan maha segala- galanya? Namun karena Dia maha penyayang, Dia tetap saja memberikan apapun yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya walaupun tidak secara langsung. Melainkan melalui sebuah mediator. Dan mediator itu bisa berupa apa saja. Bisa berupa alam sekitar ataupun sesosok manusia yang secara khusus telah ditunjuknya untuk menyampaikan apa yang diinginkan-Nya dari manusia (hanya tinggal manusia lainnya saja yang mengakui utusan-Nya itu atau tidak). Dan lucunya, secara konsep, hal ini dimengerti oleh leluhur bangsa Nusantara.
Terdapat lima aliran kepercayaan yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Tapi sejatinya, terdapat lebih dari banyak aliran kepercayaan tradisional yang berkembang di daerah- daerah. Bahkan mungkin jumlah aliran kepercayaan ini pernah sejumlah dengan banyaknya jumlah suku dan bahasa yang ada di Indonesia. Hanya saja aliran kepercayaan tradisional itu adalah aliran kepercayaan minoritas.
Tanpa menyinggung aliran kepercayaan apapun, aliran kepercayaan pada dasarnya adalah sebuah ajaran. Jadi, jika seseorang memeluk suatu aliran kepercayaan itu sama saja orang tersebut sudah memilih setia kepada suatu ajaran.  Dan inilah yang diyakini oleh masyarakat tradisional yang ada di Indonesia yang memilih untuk tetap memegang teguh aliran kepercayaan mereka. Karena kesetiaan mereka kepada ajaran leluhur mereka. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana cara masyarakat tradisional hidup sehari- hari yang memilih hidup secara terpencil dan kadang jauh dari keramaian. Itu terjadi karena mereka menghormati leluhur mereka atau jika mereka mendekat ke keramaian perkotaan, mereka takut warisan leluhur tersebut akan terancam keberadaannya. Maka tidak heran jika peraturan di desa tradisional lebih mengikat dibandingkan peraturan diperkotaan. Bahkan kadang porsi hukum yang sudah dibuat pemerintah kalah mengikat dibandingkan aturan adat di desa- desa tradisional.
Itulah persamaan dari banyaknya suku daerah yang ada. Bahwa mereka, pada dasarnya, memiliki keyakinan yang sama tentang hidup. Menjaga hubungan baik antar sesama manusia dan kepada alam sekitar sebagai wujud tanda syukur mereka kepada sang Pencipta. Hampir semua suku daerah mengetahui hal ini hanya berbeda penyebutan dan teknis dilapangan yang mengikuti dimana mereka hidup.
Tapi kemudian terdapat satu pertanyaan muncul jika konsep diatas benar. Jika ajaran leluhur itu sama, lantas siapa sosok manusia yang mengenalkan teori ini kepada mereka?  Bukankah sang Pencipta tidak berbicara langsung kepada manusia? lalu apakah konsep ini berhubungan dengan Sunda Land yang banyak diakui orang sebagai negeri atlantis yang hilang? Apakah konsep ini memiliki andil dalam masa kejayaan Nusantara pada masa lampau?

Baca lanjutan artikel disini


Sayanusantara






Pelajaran Dari Desa Tenganan Bali Untuk Indonesia

Namun selain mengajarkan adat istiadat kepada generasi muda, masyarakat desa Tenganan memiliki prinsip lain yang selalu aktualisasikan dalam kehidupan sehari- hari mereka

Tidak semua masyarakat modern hidup berlepas dari kehidupan tradisional mereka untuk datang menyambut kehidupan yang lebih maju. Seperti misal adanya beberapa kelompok masyarakat yang mulai melupakan kehidupan tradisional serta meninggalkan tradisi yang sudah dilakukan sejak dahulu kala karena berbenturan dengan spesifikasi untuk masuk kedalam dunia modern. Seperti misalnya beberapa kesenian tato suku- suku tradisional Indonesia yang sudah mulai langka karena generasi muda mereka terbentur dengan peraturan kedisiplinan perusahaan modern tempat mereka melamar pekerjaan. Jika hal ini terjadi, siapakah yang salah?
Desa Tenganan. Foto: balitoursclub.net
Perjalanan dan perkembangan kehidupan manusia saat ini memang bagaikan dua sisi mata koin yang selalu member dampak kepada setiap manusia yang mengikutinya. Sisi positif dan sisi negatif. Dan tulisan ini tidak akan membahas kedua sisi tersebut karena tulisan ini akan membahas bagai mana cara salah satu suku di pulau Bali yang hidup didalam sebuah desa yang sampai dengan saat ini masih dapat memegang teguh kehidupan nenek moyang mereka. Mereka ada suku Bali Aga yang tinggal di desa Tenganan yang terkenal dengan desa yang kuno.
Desa Tenganan adalah salah satu dari tiga desa Bali Aga yang sampai dengan hari ini masih memegang dengan kuat tradisi leluhur mereka. Pemeliharaan tradisi leluhur yang kuat tersebut dapat dilihat dengan masih banyaknya berbagai macam tempat- tempat suci, pemujaan- pemujaan, ritual- ritual sampai dengan adat istiadat yangmasih berlangsung sampai dengan saat ini. Seperti juga misalnya pemakaman orang meninggal yang dilakukan diatas batu seperti yang dilaksanakan di Teruyan, desa lain tempat suku Bali Aga tinggal.
Masih dipegangnya berbagai macam tradisi tradisional di desa ini bukanlah semata- mata karena jasa dari satu atau dua orang. Melainkan dari seluruh lapisan masyarakat yang berada di desa tersebut. Seluruh lapisan masyarakat seperti sepakat untuk menanamkan adat istiadat mereka kepada generasi muda mereka sejak dini hingga generasi mudanya tersebut menjadi orang dewasa. Penanaman adat istiadat ini menjadikan pondasi pemahaman akan sebab akibat suatu adat istiadat disana dipahami dengan sebaik- baiknya dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya.
Penanaman keilmuan tentang adat istiadat ini menjadikan keadaan desa manjadi kuat walaupun disisi lain mereka juga bersinggungan langsung dengan dunia modern. Namun dengan pamahaman yang mendalam, banyaknya wisatawan yang datang kedesa mereka bukanlah menjadi sebuah ancaman bagi tradisi mereka.
Di desa Tenganan, tidak hanya adat istiadatnya saja yang terpelihara. Namun dari segi arsitektural, mereka juga terjaga. Seperti misalnya banyaknya rumah batu yang sejak dahulu ada sampai sekarang masih digunakan karena kelestariannya yang terjaga. Maka tidak heran jika berkunjung kedesa tersebut banyak orang akan bingung karena bentuk rumah, bentuk atap, halaman, hampir semuanya seragam dengan bahan pembuatan rumah yang sama. Yaitu dari batu merah, batu sungai, tanah dan tumpukan daun rumbia untuk bagian atapnya.
Namun selain mengajarkan adat istiadat kepada generasi muda, masyarakat desa Tenganan memiliki prinsip lain yang selalu aktualisasikan dalam kehidupan sehari- hari mereka. Prinsip tersebut dikenal dengan konsep Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep utama dalam ajaran hindu yang banyak diyakini oleh masyarakat Bali sebagai sakah satu keyakinan mereka.
Tri Hita Karana merupakan konsep penting dalam ajaran Hindu karena menyangkut tentang sebab- sebab sebuah kebahagiaan guna mencapai sebuah keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari tiga buah konsep. Yaitu konsep Parahyangan yang merupakan konsep kehidupan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan mereka selaku pencipta dan penjaga mereka. Lalu juga ada konsep Pawongan yang merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Sedangkan yang terakhir adalah konsep Palemahan yang merupakan konsep hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan di sekitarnya.
Desa Tenganan. Foto:balironifamily.blogspot.com
Tri Hita Karana sebenarnya bukan hanya konsep dari ajaran Hindu. Melainkan sudah menjadi sebuah konsep universal dimana konsep tersebut sudah banyak di aktualisasikan dibanyak tempat. Hanya saja konsep tersebut dikenal dengan nama yang berbeda- beda. Disebut universal karena konsep tersebut merupakan konsep yang menjadikan manusia selalu ingat akan hakikat hidupnya sebagai makhluk. 
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa adat istiadat yang terpelihara dengan baik sampai dengan hari ini diyakini sebagai penghubung antara manusia yang ada saat ini dengan leluhur mereka. Jadi ketika mereka menjalankan sebuah adat istiadat secara tidak langsung sama saja mereka telah menghormati leluhur mereka yang telah mencontohkan pola hidup dan kehidupan yang baik dan bersifat sakral. Jadi tidak heran jika ada orang datang kedaerah asing dan melanggar adat istiadat dari daerah itu, orang asing tersebut akan dihukum adat karena dianggap tidak menghormati leluhur setempat.
Desa Tengahan merupakan salah satu desa yang menjadi pelajaran bagi masyarakat modern untuk tetap setia terhadap adat istiadat mereka. Karena adat istiadat itulah yang sudah memelihara mereka sejak awal mereka lahir dibumi. Dan jika kita dapat memetik pelajaran dari desa Tengahan dan mengaplikasikannya dikehidupan sehari- hari, mungkin kehidupan yang damai dan sejahtera yang dicita- citakan bangsa ini akan segera terwujud. Desa Tengahan sudah membuktikannya. Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara


Referensi:
http://1001indonesia.net/desa-tenganan/
https://id.wikipedia.org/wiki/Tenganan,_Manggis,_Karangasem

Jarang Dibahas, Inilah Sisi Politik Pertunjukan Ludruk

Selain sempat dijadikan sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang kemerdekaan, Ludruk juga sempat dijadikan sarana untuk menggalang massa oleh PKI

 

Budaya dan tradisi yang sangat banyak disuatu daerah selalu bercermin kepada banyaknya kesenian dari daerah tersebut. Karena dari budaya dan tradisi tersebutlah kemudian lahir bibit- bibit kesenian yang mencirikan suatu daerah. Itulah kemudian yang menjadikan Indonesia yang sangat kaya akan budaya dan tradisi juga kaya akan kesenian- kesenian yang termasuk didalamnya kesenian teater. Salah satu kesenian teater yang sangat dikenal selain Topeng Betawi adalah kesenian Ludruk.
Ludruk sendiri adalah merupakan kesenian drama tradisional yang berasal dari Jawa Timur yang diperagakan oleh sebuah grup kesenian dan dipertunjukan disebuah panggung. Tidak berbeda jauh dengan kesenian Topeng Betawi, tema yang dibawakan oleh para pemain Ludruk biasanya adalah tentang kehidupan sehari- hari, cerita perjuangan, dan certita lainnya yang diselingi oleh candaan dan lawakan. Didalam pertunjukannya, kesenian Ludruk juga diiringi oleh lantunan alat musik gamelan sebagai pengiring.
Ludruk. Foto: indonesiakaya.com
Dialog yang dibawakan dalam Ludruk lebih bersifat menghibur dan selalu dapat membuat para penontonnya tertawa. Bahasa lugas yang digunakan dalam kehidupan sehari- hari menjadikan Ludruk mudah dimengerti oleh para penontonnya yang kebanyakan merupakan kalangan non intelek pada saat itu. Seperti tukang becak, supir angkutan umum, peronda, atau para pedagang.
Dalam segi pertunjukan, banyak yang menyamakan Ludruk yang dari Jawa Timur ini sama dengan Ketoprak dari JawaTengah. Secara umum, jika dilihat sepintas, mungkin memang benar jika kedua kesenian tradisional ini sama. Namun ketika dilihat lebih seksama lagi, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Terutama pada segi alur cerita. Ketoprak sering mengambil cerita dari jaman dahulu atau dongeng- dongeng dan bermaksud untuk menyampaikan sebuah pesan tertentu kepada penontonnya. Sementara Ludruk ceritanya lebih bersifat cerita kehidupan sehari- hari kalangan masyarakat kecil.
Bisa dibilang Ludruk merupakan sebuah kesenian tradisional yang sudah sangat tua keberadaannya. Hal ini terlihat dari banyaknya tulisan dari orang- orang Belanda tentangnya. Seperti misalnya data statistik Van Grisse Van pada tahun 1822 yang menyatakan bahwa Ludruk adalah tari- tarian yang dilengkapi dengan cerita lucu yang diperankan oleh pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri sebagai wanita. Pengertian dari Ludruk ternyata juga masuk kedalam sebuah kamus dengan judul Javanansch Nederduitssch Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda pada tahun 1847, yang menyatakan bahwa Ludruk berarti Grappermaker atau badutan.
Sudah lamanya kesenian Ludruk dikenal oleh masyarakat luas menjadikan kesenian ini semakin berkembang dari waktu ke waktu. Dan siapa yang menyangka bahwa ketenaran Ludruk yang semakin tinggi dari waktu ke waktu ternyata sempat juga dijadikan oleh masyarakat pribumi sebagai media untuk melawan para penjajah seperti yang pernah terjadi pada tahun 1933 silam.
Pada waktu itu seorang seniman Ludruk, Cak Durasim, mendirikan sebuah Ludruk Oraganizatie (LO) dimana organisasi ini sempat membuat Belanda dan Jepang merasa terhina. Karena pada masa itu, pergelaran Ludruk yang berada dibawah LO dimanfaatkan oleh para pejuang untuk mengedukasi masyarkat bahwa mereka harus mempersiapkan kemerdekaan yang sebentar lagi datang. Dan karena pergerakan inilah Cak Durasim ditangkap oleh Jepang dan memasukannya kedalam penjara sampai dia meninggal. Pada waktu itu, Cak Durasim selain dikenal sebagai pendiri dari LO juga terkenal karena tempang Jula Juli nya yang terkenal: bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro (Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara).
Ludruk. Foto: nasional.tempo.co
Namun selain sempat dijadikan sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang kemerdekaan, kesenian Ludruk juga sempat dijadikan sarana untuk menggalang massa oleh PKI. Melalui kesenian Ludruk, PKI dengan mudah menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya grup Ludruk yang ada pada saat itu. Seperti pada tahun 1963 dimana tercatat ada 549 perkumpulan Ludruk di Jawa Timur yang hampir kebanyakan berhaluan kiri. Karena sentuhan dengan PKI inilah kemudian Ludruk dianggap sebagai grup kesenian yang terlarang. Itulah sebabnya sejak tahun tersebut hampir keseluruhan grup Ludruk vakum. Grup Ludruk haluan kiri bubar dan grup Ludruk haluan kanan takut untuk tampil.
Barulah pada tahun 1967, pemerintah Orde Baru berusaha kembali membangkitkan kembali Ludruk. Namun Ludruk yang dibangkitkan kembali ini tidak dapat langsung kembali beraktifitas seperti sedia kala karena harus melalui pembinaan oleh KODAM BRAWIJAYA. Pembinaan oleh TNI inilah yang menjadikan kepercayaan kepada Ludruk kembali lagi.
Ludruk merupakan sebuah bukti bahwa sebuah kesenian yang termasuk didalam kebudayaan sangat berkaitan erat dengan aktifitas manusia dalam setiap waktunya. Itulah ujian dari sebuah kebudayaan atau tradisi tradisional yang mana ujian tersebut selalu akan berdampak kepada banyak hal. Salah satunya adalah jika sebuah kebudayaan atau tradisi atau kesenian teruji dalam waktu yang lama itu akan menjadikan kebudayaan tersebut menjadi sebuah image tersendiri yang menggambarkan keadaan masyarakat disuatu daerah tersebut. Karena satu hal yang menjadikan Ludruk dihidupkan kembali setelah kasus PKI adalah karena Ludruk sudah terbukti sebagai sebuah kebudayaan asli dari Jawa Timur yang mampu bertahan dari banyaknya ujian yang salah satunya adalah masa pra kemerdekaan.

Sayanusantara


Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Ludruk
https://fitriianggraini210.wordpress.com/2014/05/13/ludruk-adalah-salah-satu-jenis-kebudayaan-asli-dari-jawa-timur/
http://www.kompasiana.com/eveline/mari-mengenal-ludruk-1-sejarah-ludruk_5517e32fa333117707b6633f

Reog Ponorogo, Simbol Bangsa Nusantara Tidak Boleh Tunduk Kepada Bangsa Lain

Seni Reog pada masa Ki Ageng Kutu merupakan sebuah kesenian yang ditujukan untuk menyindir pemerintahan dari kerajaan Majapahit..


Dari banyaknya kebudayaan asli Indonesia terdapat beberapa kebudayaan yang diakui oleh dunia sebagai warisan budaya dunia. Bahkan dari kekayaan budaya yang dimilikinya, banyak pula bangsa- bangsa diluar Indonesia yang mempelajari budaya Indonesia. Seperti misalnya ada beberapa universitas di negara luar yang menjadikan bahasa Jawa sebagai salah satu mata pelajarannya ataupun terdapat sebuah pelajaran bahasa Indonesia yang menarik banyak peminat pelajar diluar negeri untuk mempelajarinya. Namun ternyata dari banyaknya kekayaan budaya yang dimiliki, terkadang terdapat pula permasalahan dari adanya kebudayaan yang diakui oleh negara lain. Seperti misalnya yang pernah terjadi pada kebudayaan Reog Ponorogo beberapa tahun silam.
Reog Ponorogo. Foto: indonesiatravelguides.com
Reog Ponorogo adalah salah satu kebudayaan asli dari Jawa Timur yang berasal dari Ponorogo. Namun walaupun termasuk kebudayaan asli, Reog Ponorogo ini memiliki banyak versi sejarah tentang asal- usulnya sehingga sulit untuk menentukan yang mana yang benar. Tapi dari sekian banyaknya versi sejarah, terdapat satu versi sejarah yang paling terkenal dalam menceritakan asal- usul Reog Ponorogo. Versi cerita yang paling terkenal ini memiliki sangkut paut terhadap pemberontakan terhadap kerajaan Majapahit.
Abad ke- 15, pada masa Kertabhumi, kerajaan Majapahit memiliki abdi yang bernama Ki Ageng Kutu. Singkat cerita Ki Ageng Kutu murka terhadap raja Majapahit kala itu yang seakan- akan tidak punya kekuasaan ataupun kehormatan karena selalu tunduk terhadap isterinya yang berasal dari Tiongkok. Hal ini menjadikan Kertabhumi tidak memiliki wewenang penuh dalam memerintah ataupun mengambil kebijakan kerajaan karena ‘disetir’ oleh isterinya. Kebijakan dan kekuasaan yang berkurang ini menjadikan jalannya pemerintahan kerajaan menjadi tidak bejalan dengan baik dan menimbulkan banyak permasalahan baru. Seperti misalnya menjalarnya praktik korupsi ditubuh kerajaan. Dan karena permasalahan yang timbul inilah, Ki Ageng Kutu dapat memperkirakan bahwa kerajaan Majapahit akan berakhir tidak lama lagi.
Berdasarkan analisanya itu, Ki Ageng Kutu kemudian mengundurkan diri sebagai abdi kerajaan dan pergi untuk mulai mendirikan sebuah perguruan bela diri. Melalui peguruan bela diri inilah kemudian Ki Ageng Kutu merencanakan perlawanan terhadap Majapahit. Namun seiring waktu berjalan, rencana pemberontakan itu perlahan- lahan sirna karena fakta bahwa kerajaan Majapahit memiliki lebih banyak pasukan dibandingkan dengan pasukan yang dimiliki Ki Ageng Kutu. Tapi walaupun begitu rencana Ki Ageng Kutu tidak berkurang sedikitpun untuk melakukan perlawanan. Dan kali ini ide yang muncul adalah melalui sebuah pertunjukan seni Reog.
Seni Reog pada masa Ki Ageng Kutu merupakan sebuah kesenian yang ditujukan untuk menyindir pemerintahan dari kerajaan Majapahit. Semakin sering Reog di pertunjukan semakin banyak pula masyarakat yang menyukainya. Banyaknya perhatian dari masyarakat menjadikan langkah Ki Ageng Kutu untuk membangun perlawanan semakin besar.
Sindiran akan raja Kertabhumi, sangat menonjol pada pertunjukan Reog Ki Ageng Kutu. Kertabhumi di simbolkan sebagai sosok Singa Barong yang merupakan topeng berbentuk kepala singa yang berhias bulu- bulu merak. Kepala singa adalah simbol dari raja Majapahit yang merupakan kerajaan yang kuat saat itu sedangkan bulu- bulu merak adalah simbol dari pengaruh kuat dari bangsa Tiongkok yang selalu mengontrol setiap pergerakan dai kerajaan Majapahit seperti bulu- bulu merak yang selalu dapat melihat apa yang dilihat oleh kepala singa.
Selain disimbolkan dengan Singa Barong, armada perang Majapahit juga tidak lekang dari sindiran Ki Ageng Kutu sehingga dibuatlah tari Jatilan. Jatilan adalah tarian yang dilakukan oleh penari Gemblak yang menunggangi kuda- kudaan sebagai simbol kekuatan pasukan Majapahit. Gambaran Jatilan sangat kontras dengan gambaran Warok yang merupakan pasukan dari Ki Ageng Kutu. 
Kepopuleran Reog ternyata juga mampu menarik perhatian dari Kertabhumi sehingga akhirnya Kertabhumi menyadari sindiran yang di pertunjukan oleh Ki Ageng Kutu. Kertabhumi yang murka akhirnya menyerang perguruan Ki Ageng Kutu dan melarangnya untuk melanjutkan pengajaran tentang Warok. Namun walaupun sudah mendapatkan refresif dari kerajaan, murid- murid dari Ki Ageng Kutu tetap mempertunjukan Reog secara diam- diam hingga akhirnya, karena kepopuleran Reog, pertunjukan Reog kembali dipertunjukan kepada umum walau jalan ceritanya memiliki alur baru. Alur baru ini termasuk ditambahkannya karakter- karakter baru yang diambil dari cerita rakyat Ponorogo. Yaitu Kelono Sewandono, Dewi Songgolangit dan Sri Genthayu. Itulah kemudian pertunjukan Reog dikenal dengan nama Reog Ponorogo. Dan jika ditarik garis waktu, kahadiran Ki Ageng Kutu sebagai pencetus ide Reog ini terpaut sangat dekat dengan sosok Sabdapalon Nayagenggong yang juga termasuk tokoh kontoversional dalam kerajaan Majapahit.


Reog Ponorogo pernah menjadi kontroversional karena sempat muncul di web resmi milik Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Pasalnya Reog yang ditampilkan pada web tersebut ditarikan di Malaysia dengan nama Malaysia tertulis di topeng Singa Barong. Hanya saja di Malaysia saat itu kesenian ini dikenal bukan dengan nama Reog Ponorogo, melainkan dikenal dengan nama Tari Barongan. Permasalahan ini juga semakin meruncing ketika pemerintah Malaysia mengakui bahwa Tari Barong tersebut adalah warisan masyarakat keturunan Jawa yang banyak terdapat di Batu Pahat, Johor dan Selangor, Malaysia. Sontak hal inipun membuat banyak kalangan seniman Reog Ponorogo dan masyarakat umum di Indonesia memprotes dan mengkritisi pernyataan tersebut.
Reog Ponorogo. Foto: pewartanusantara.com
Berbagai macam bukti dicari guna memperkuat argumentasi bahwa Reog Ponorogo atau Tari Barong berasal dari Indonesia. Seperti pernyataan hak cipta kesenian Reog yang telah dicatat dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan dengan demikian diketahui oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Selain itu ditemukan pula informasi lain bahwa Dadak Merak yang terlihat di situs web resmi tersebut adalah buatan pengrajin Ponorogo. Karena itulah ribuan seniman Reog sempat berdemonstrasi didepan kedutaan Malaysia di Jakarta.
Dan barulah pada akhir November 2007, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia kala itu, Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain, menyatakan bahwa pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai kebudayaan asli dari negara itu. Reog yang disebut sebagai Barongan di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh orang Jawa yang merantau ke Malaysia sebelum pembentukan negara Indonesia. Hal ini menjadikan imigran tersebut tidak termasuk sebagai warga negara Indonesia.
Reog Ponorogo merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa segalanya sangat mungkin terjadi. Baik itu kehilangan, pengambil alihan, ataupun pelestarian. Semuanya dapat sangat mungkin terjadi dan hanya tergantung kemana arah fokus kita terhadap kekayaan budaya yang ada di Indonesia. Karena Indonesia adalah negara yang sangat kaya dibanding negara- negara lainnya dan tidak dapat dipungkiri pula jika banyak negara- negara yang menginginkan kekayaan- kekayaan yang ada di Indonesia.
Kepedulian adalah kunci dari kelestarian. Baik itu kepedulian terhadap alam sekitar, tradisi, budaya, ataupun sesama manusia. Karena hanya dengan kepedulian sajalah kita dapat menunjukan bahwa kita, sebagai sesama warga negara Indonesia, saling menyayangi dan melindungi sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat digoyahkan. Karena jika kepedulian itu hilang, maka kasih yang banyak pun akan berubah menjadi kasih yang dingin sehingga tidak akan ada lagi kepercayaan, kecintaan, tolong menolong, bahkan kasih sayang itu sendiri.
Kepedulian adalah segalanya seperti yang dipikirkan oleh Ki Ageng Kutu yang sangat peduli akan kelangsungan kehidupan dari kerajaan Majapahit. Ki Ageng Kutu menyadari bahwa Majapahit tidak akan bisa bertahan lama jika berada di bawah kendali bangsa lain. Karena ketika sebuah pemerintahan di kendalikan oleh kekuasaan lain, yang akan terjadi adalah kekacauan yang berujung kepada kehancuran. Dari kepedulian Ki Ageng Kutu itulah kemudian lahir kesenian Reog yang melambangkan bahwa bangsa Nusantara haruslah berdiri sendiri dan tanpa dibawah kendali siapapun atau bangsa manapun. Inilah yang harus mampu menjadi inspirasi bagi generasi muda bangsa Indonesia agar tetap bisa mempertahankan kemerdekaan Indonesia sehingga Indonesia tetap kuat dan tidak mudah tergoyangkan walau diterpa badai disegala sisi kehidupannya. Indonesia tergantung kita. Karena Ini Nusantara Kita.


Sayanusantara



Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Reog_%28Ponorogo%29


<< Sebelumnya                  Selanjutnya >>

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...