Suku Baduy, Inilah Alasan Kami Sering Berjalan Kaki Tanpa Alas Ketika Berkunjung Ke Pemerintahan Banten

Karena secara tidak langsung memberikan kita pesan bahwa meskipun dunia sekarang sudah sangat canggih dan cepat, alam semesta haruslah selalu diutamakan keberlangsungannya. Karena kecanggihan atau kecepatan dari modernisasi dunia adalah hasil dari penelitian yang dilakukan manusia terhadap alam



Ada banyak cara yang dilakukan  untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti melaksanakan sebuah ritual adat atau melaksanakan acara syukuran. Disetiap daerah di Indonesia, ungkapan rasa syukur dilakukan dengan cara yang berbeda- beda. Seperti misalnya yang dilakukan oleh masyarakat dari suku Baduy, Banten, yang mensyukuri nikmat dengan cara melaksanakan adat Seba.
Masyarakat Baduy di Banten adalah salah satu masyarakat adat suku yang mempertahankan adat istiadat yang telah di wariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka sampai dengan saat ini. Masyarakat suku Baduy tinggal di sebuah desa pedalaman di desa Kenekes, kecamatan Lauwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dan secara umum, masyarakat suku Baduy di Banten tidak mengeyam pendidikan formal seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Para generasi muda suku Baduy belajar dari orang tua mereka yang menjadikan kebajikan hidup,  alam, dan adat istiadat mereka sebagai sarana pembelajarannya. Cara hidup masyarakat suku Baduy di Banten secara umum hampir sama dengan kehidupan masyarakat suku Kajang, di Sulawesi Selatan



Seperti pada masyarakat adat lainnya, kehidupan modern dan arus globalisasi selalu menjadi ancaman tersendiri bagi keberlangsungan hidup suatu adat. Karena itulah masyarakat adat Baduy di Banten mempertahankan adat istiadatnya dengan menolak segala perkembangan zaman yang ada. Mereka menolak modernisasi yang selalu berkembang seperti menolak menerima perkembangan teknologi bahkan transportasi. Itulah kenapa ketika kita berkunjung ke desa masyarakat suku Baduy di Banten tidak akan menemui alat elektronik ataupun alat transportasi yang umum di tempat- tempat lainnya. Itu semua dilarang di masyarakat suku Baduy.

Adat Seba Baduy di Banten (Sumber Gambar: www.foto.viva.co.id)
Namun dibalik penolakan atas perkembangan zaman, masyarakat Baduy Banten juga menyadari bahwa seiring waktu berjalan, generasi muda mereka mungkin tidak akan mampu mempertahankan adat istiadat yang mereka petahankan secara murni dan konsisten. Untuk itulah masyarakat suku Baduy dibagi menjadi dua bagian. Baduy Dalam dan Baduy Luar.
Masyarakat Baduy Dalam adalah kelompok masyarakat yang hidup dengan tetap memegang ajaran adat istiadat leluhur mereka secara murni dan konsisten. Mereka menolak segala pekembangan zaman dan ketika bepergian mereka selalu mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala atau Lomar berwana hitam. Ketika berkunjung kesuatu tempat, masyarakat Baduy Dalam mempertahankan adat mereka dengan cara berjalan kaki tanpa mengenakan alas kaki. Sementara masyarakat Baduy Luar adalah masyarakat suku Baduy yang terbuka akan perkembangan zaman. Sehingga masyarakat Baduy Luar selalu update terhadap arus informasi yang selalu bekembang setiap saatnya. Pola hidup masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam juga sangat berbeda. Karena sifat terbukanya, masyarakat suku Baduy Luar sudah hidup tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya di tempat lain.

Upacara Seba Suku Baduy Banten (Sumber Gambar: www.bantenpos.com)


Pembagian masyarakat suku Baduy ini bukan berarti perpecahan dalam suku Baduy. Karena walaupun terbagi menjadi dua golongan, masing- masing golongan memiliki fungsi masing- masing yang harus dijalankan dalam melaksanakan amanah leluhur atau Pikukuh Karuhun mereka. Secara umum, Pikukuh Karuhun adalah sejenis adat istiadat yang mengatur kehidupan masyarakat suku Baduy di Banten baik dalam kehidupan sehari- hari, acara adat, serta upacara- upacara yang harus dilaksanakan oleh masyarakat suku Baduy. Dan salah satu upacara yang masuk kedalam Pikukuh Karuhun tersebut adalah upacara Seba.
Upacara Seba adalah salah satu upacara yang wajib dilakukan oleh masyarakat suku Baduy dalam kurun waktu satu tahun sekali. Biasanya, upacara Seba dilaksanakan pada bulan Safar di awal tahun baru penanggalan adat Baduy atau sekitar bulan April sampai Mei pada penanggalan Masehi. Upacara Seba ini dilaksakan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat suku Baduy atas nikmat Tuhan Yang Maha Esa dalam hasil pertanian mereka.


Upacara Seba terbagi menjadi dua jenis. Yaitu upacara Seba Kecil dan Seba Besar. Dilaksanakannya kedua upacara ini tergantung dari hasil pertanian masyarakat suku Baduy. Karena bagi masyarakat suku Baduy di Banten, bertani atau bercocok tanam adalah sebuah kegiatan mulia yang harus selalu dipertahankan.
Jika hasil dari bercocok tanam tidak terlalu banyak, maka tetua adat atau yang biasa dikenal dengan nama Puun oleh masyarakat setempat, melaksanakan upacara Seba Kecil. Upacara Seba Kecil adalah kegiatan menyerahkan sebagian hasil panen tanpa perlengkapan dapur kepada pemerintah setempat setingkat Bupati atau Gubernur. Namun jika hasil panen dari bercocok tanam melimpah, masyarakat suku Baduy akan melaksanakan upacara Seba besar dengan memberikan sebagian hasil panen beserta peralatan dapurnya kepada pemerintah setempat seperti Bupati dan Gubernur.

Video Masyarakat Suku Baduy di Banten
(Sumber Video: www.Youtube.com. Upload Oleh Megapolitan Kompas Tv)

Upacara Seba, baik kecil atau besar, sudah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh masyarakat suku Baduy di Banten. Dan alasan kunjungan kepada pemangku pemerintahan setempat ini adalah untuk memperkuat tali silaturahmi atau pesaudaraan dan kekeluargaan antara pemerintah daerah dengan masyarakat adat. Selain itu kunjungan ini juga dalam rangka memberikan laporan atas kehidupan sehari- hari masyarakat suku Baduy kepada pemerintah. Baik dalam hal perkembangan, permasalahan, serta harapan untuk waktu kedepan. Salah satu harapan yang biasa dibicarakan oleh masyarakat suku Baduy adalah pelestarian alam, hutan dan gunung disekitar tempat tinggal masyarakat suku Baduy.
Masyarakat suku Baduy di Banten memiliki tempat keramat mereka sendiri di lingkungan tempat tinggal mereka. Tempat keramat tersebut mereka namakan dengan Arca Domas yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin suku Baduy atau Puun. Masyarakat suku Baduy meyakini bahwa Ara Domas adalah tempat dimana Bhatara Tunggal (Dia-Yang-Satu) menciptakan bumi untuk pertama kali. Mereka meyakini bahwa Bhatara Tunggal menciptakan bumi dari benda besar yang bersifat kental dan bening yang seiring waktu melebar dan mengeras.
Masyarakat suku Baduy meyakini bahwa Baduy adalah tempat asal muasal dari terjadinya bumi. Karena itu mereka meyakini bahwa tanah Baduy, tepatnya Arca Domas, adalah Pancer Bumi atau inti jagat atau pusat buana atau pusat dunia. Dan karena itulah, Arca Domas diyakini oleh masyarakat setempat sebagai tempat berkumpulnya para leluhur atau nenek moyang mereka yang diyakini selalu memantau dan menjaga anak keturunan Baduy. Inilah alasan hutan, gunung, atau kelestarian alam sekitar sangat penting bagi masyarakat suku Baduy. Dimana ketika keseimbangan alam tersebut diganggu, mereka meyakini bahwa bencana alam akan menimpa umat manusia sebagai akibat dari marahnya leluhur mereka karena pengerusakan yang terjadi.

Tradisi Berjalan Kaki Suku Baduy di Banten (Sumber Gambar: www.Merdeka.com)
Tradisi Seba atau dalam bahasa sehari- hari dikenal dengan adat berkunjung dilakukan dengan cara yang unik. Masyarakat suku Baduy, baik dalam ataupun luar, mengutus beberapa orang perwakilan untuk datang ke pemerintah daerah. Uniknya jarak yang cukup jauh ditempuh bukan dengan kendaraan, melainkan dengan berjalan kaki yang bisa mencapai waktu 3 hari lamanya.
Masyarakat suku Baduy yang sangat sederhana di era globaliasi ini mengajarkan kepada kita bahwa keberlangsungan alam adalah segalanya bagi manusia. Karena alam seumpama ibu bagi manusia yang harus dicintai dan dihormati keberadaannya. Karena dari alamlah manusia dilahirkan dan lalu tumbuh berkembang sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Dari hidup sampai dengan mati, manusia berada di alam. Jadi sudah seharusnya alam dijaga sebagai wujud syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan alam untuk kita, manusia, hidup.


Upacara Seba masyarakat suku Baduy di Banten adalah bentuk rasa syukur atas hasil alam yang berlimpah yang merupakan nikmat dari Yang Maha Kuasa. Karena itulah upacara ini sangat sakral. Karena secara tidak langsung memberikan kita pesan bahwa meskipun dunia sekarang sudah sangat canggih dan cepat, alam semesta haruslah selalu diutamakan keberlangsungannya. Karena kecanggihan atau kecepatan dari modernisasi dunia adalah hasil dari penelitian yang dilakukan manusia terhadap alam. Alamlah yang mengajarkan dan menjadikan manusia dapat mencapai titik modern seperti saat ini. Sehingga sangat tidak wajar jika manusia cuek atau tidak peduli terhadap keberlangsungan alam dan selalu mengeksplorasinya demi sebuah kenikmatan yang bersifat sementara. Dan sepertinya sudah waktunya bagi manusia modern untuk belajar dari masyarakat suku adat tentang tata cara menjaga keberlangsungan alam seperti yang dilakukan suku Baduy di Banten dan suku- suku lainnya yang ada di tanah Nusantara, Indonesia, ini. Suku Baduy adalah warisan nenek moyang Nusantara yang harus terus kita jaga..


Sayanusantara.blogspot.co.id


Referensi:
1.http://sukubaduydalam2.blogspot.co.id/2012/11/tradisi-suku-baduy-dalam-seba-di-suku.htm
2.http://www.inddit.com/f-9e581e/suku-baduy-bangga-berjalan-kaki-senang-memberi-peduli-pemerintahan
3.http://sp.beritasatu.com/home/seba-tradisi-tahunan-baduy-yang-harus-dilestarikan/87209


<< Sebelumnya                    Selanjutnya >>

No comments:

Post a Comment

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...