Mencermati Ajaran Leluhur Nusantara

Semua orang tahu bahwa negeri Nusantara terdiri dari banyak suku daerah yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Tapi mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dari sekian banyak perbedaan tersebut, terdapat sedikit persamaan. Dan uniknya persamaan yang dimiliki oleh setiap suku daerah ini mungkin lebih kuat dari pada persamaan dalam pemakaian bahasa dalam mempersatukan Indonesia.
Peta Nusantara. Gambar: atlantis-indonesia.org
Sampai saat ini, mungkin masih terdapat banyak suku- suku daerah yang ada didaerah- daerah yang belum tersentuh sehingga kita belum mengetahui sumber daya apa yang ada disana. Baik itu merupakan sumber daya alamnya ataupun sumber daya manusianya. Dan karena belum tersentuh, mungkin banyak pula dari kita yang tidak mengetahui bahwa ada tempat dan suku daerah yang unik di Indonesia yang kita tidak tahu bahwa itu ada di Indonesia. Dan inilah salah satu peran media, menyampaikan kepada khalayak tentang hal- hal yang tidak diketahui banyak orang. Sama seperti misalnya hal persamaan yang dimiliki oleh suku- suku daerah yang ada di Indonesia.
Jika kita membaca buku- buku sejarah yang ada sekarang, maka kita akan mengetahui bahwa mulai dari ujung paling barat pulau Sumatra sampai dengan ujung paling timur Papua, memiliki aliran kepercayaan atau keyakinan yang mengacu kepada keyakinan mereka terhadap leluhur atau nenek moyang mereka. Walaupun ajaran tersebut selalu dilaksanakan dengan cara yang berbeda- beda antara suku daerah dengan suku daerah lainnya, namun jika kita lebih memahami ajaran leluhur seperti apa itu, kita akan melihat bahwa terdapat sebuah persamaan yang sangat besar antara satu keyakinan dengan keyakinan yang lainnya.
Desa- desa tradisional misalnya, entah itu desa pasca jaman Megalitikum ataupun desa pra Megalitikum yang masih ada sampai saat ini, mereka sangat setia dengan ajaran leluhur mereka sehingga ajaran tersebut menjadi sebuah kebudayaan tersendiri bagi generasi mudanya dalam menjalani kehidupan sehari- hari. Ajaran leluhur mereka adalah tiga hal. Menjalin hubungan dengan sang Pencipta, menjalin hubungan dengan sesama manusia, dan menjalin hubungan dengan alam sekitar. Orang Hindu mengenal konsep ini dengan nama Tri Hita Kirana. Inti dari ajaran tersebut adalah; bahwa setiap individu manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan alam semesta (manusia dan alam sekitar) dengan cara saling menjaga, memelihara, dan mengolahnya sebagai wujud tanda syukur kepada sang Pencipta. Hanya saja inti dari ajaran tersebut dikenal dengan banyak nama oleh setiap suku daerah yang ada.
Tidak semua orang memahami inti dari ajaran leluhur ini. Bahkan mungkin para leluhur pun tidak mengerti tentang konsep ini walaupun mereka sebenarnya telah menjalankannya. Karena untuk mengerti hal ini terlebih dahulu seseorang harus mengenal seperti apa sang Pencipta itu bekerja.
Cara bekerja sang Pencipta sangat sederhana untuk dimengerti dan dipahami. Karena sebenarnya, seperti pendangangan para ahli spiritual, sang Pencipta itu berada dimana- mana. Pertanyaannya, kenapa kita tidak melihat-Nya? Sebenarnya kata yang tepat bukanlah ‘melihat-Nya’, tetapi ‘mengenali-Nya’. Maka pertanyaannya akan berubah menjadi; jika Dia ada dimana- mana, kenapa kita tidak mengenali-Nya? Jawabannya adalah; karena Dia yang berada di mana- mana, bukanlah Dia dalam bentuk fisik. Melainkan sifat atau karakter dari Dia. Umat islam mengenali 99 karakter dari Dia dengan nama Asma’ul Husna.
Seperti misalnya kita mengetahui bahwa sang Pencipta itu maha pengasih terhadap siapapun. Lalu apa hubungannya dengan Dia ada di mana- mana? Karena pada essensinya, dalam sejarah umat manusia, dalam kitab-Nya yang manapun, tidak ada cerita seorang manusia yang pernah melihat-Nya dalam bentuk yang sebenar- benarnya. Bahkan para nabi atau Rasul mendapatkan pelajaran tidak secara langsung dari-Nya, melainkan melalui utusan-Nya. Hanya beberapa saja dari nabi atau Rasul yang berbicara langsung kepada-Nya. Semisal Abraham atau Ibrahim dalam bahasa Arabnya. Bahkan Musa hanya melihat-Nya sebagai pohon besar yang daun- daunnya mengeluarkan api tanpa terbakar diatas gunung diawal kenabiannya. 
Kembali lagi, lalu bagaimana kita tahu Dia itu maha pengasih? Lihatlah alam semesta. Pernah melihat ada orang yang memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa pamrih? Itulah sifat-Nya yang maha pengasih. Tidak pernah memilih siapa atau apa yang akan dikasihi-Nya dan tidak pernah berharap apapun sebagai balasannya. Pernahkan kalian merasakan keadaan yang sangat sulit dan tiba- tiba ada seseorang yang datang kepada kalian dan memberikan apa yang kalian butuhkan tanpa mengharapkan apapun? Itulah sifat-Nya yang maha pengasih. Itulah kenapa setiap kita mendapatkan kemudahan atas segala sesuatu, para pemuka agama menyarankan kita untuk bersyukur atau berterima kasih kepada-Nya. Karena Dia meliputi segala sesuatu, termasuk kita. Atau pernahkah kalian melihat seekor burung menanam tanaman untuk dapat dimakan bijinya besok hari? Kenapa burung yang hidup secara liar yang sama sekali tidak melakukan apa- apa seperti yang dilakukan manusia dapat hidup sampai jauh dewasa? Itu karena Dia mengasihi burung itu lewat alam semesta.
Kapal Jung. Foto: Mongabay.co.id
Pernah tahu bahwa sang Pencipta memiliki sifat pembenci? Pernah melihat seperti apa orang yang membenci orang lainnya karena sesuatu hal? Pernah merasakan membenci orang lain atau sesuatu hal? Lalu bagaimana dengan sifat-Nya yang maha penyayang? Lihatlah bagaimana orang tua menyayangi anaknya sendiri melebihi anak orang lain. Lihatlah bagaimana seekor buaya yang sangat ganas menjadi sangat penyayang dan lemah lembut kepada anak- anaknya. Ingin melihat bagaimana sang Pencipta marah? Lihatlah bagaimana alam semesta ini ketika menyengsarakan kehidupan manusia dalam suatu bencana alam. Atau ingin membuktikan bahwa Dia itu maha pemurah? Lihatlah bagaimana alam semesta yang menjadi berkah bagi manusia atau bagaimana para petani puas dengan kerja kerasnya karena panen raya. Intinya adalah bahwa sang Pencipta tidak pernah bertemu secara langsung (mata tatap mata) dengan manusia. Kenapa? Karena Dia itu adalah Yang Maha Suci sedangkan manusia adalah tempat dosa dan segala kesalahan lainnya. Pantaskah kita yang penuh kesalahan dan dosa bertemu dengan Dia yang maha suci dan maha segala- galanya? Namun karena Dia maha penyayang, Dia tetap saja memberikan apapun yang dibutuhkan oleh ciptaan-Nya walaupun tidak secara langsung. Melainkan melalui sebuah mediator. Dan mediator itu bisa berupa apa saja. Bisa berupa alam sekitar ataupun sesosok manusia yang secara khusus telah ditunjuknya untuk menyampaikan apa yang diinginkan-Nya dari manusia (hanya tinggal manusia lainnya saja yang mengakui utusan-Nya itu atau tidak). Dan lucunya, secara konsep, hal ini dimengerti oleh leluhur bangsa Nusantara.
Terdapat lima aliran kepercayaan yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Tapi sejatinya, terdapat lebih dari banyak aliran kepercayaan tradisional yang berkembang di daerah- daerah. Bahkan mungkin jumlah aliran kepercayaan ini pernah sejumlah dengan banyaknya jumlah suku dan bahasa yang ada di Indonesia. Hanya saja aliran kepercayaan tradisional itu adalah aliran kepercayaan minoritas.
Tanpa menyinggung aliran kepercayaan apapun, aliran kepercayaan pada dasarnya adalah sebuah ajaran. Jadi, jika seseorang memeluk suatu aliran kepercayaan itu sama saja orang tersebut sudah memilih setia kepada suatu ajaran.  Dan inilah yang diyakini oleh masyarakat tradisional yang ada di Indonesia yang memilih untuk tetap memegang teguh aliran kepercayaan mereka. Karena kesetiaan mereka kepada ajaran leluhur mereka. Hal ini bisa terlihat dari bagaimana cara masyarakat tradisional hidup sehari- hari yang memilih hidup secara terpencil dan kadang jauh dari keramaian. Itu terjadi karena mereka menghormati leluhur mereka atau jika mereka mendekat ke keramaian perkotaan, mereka takut warisan leluhur tersebut akan terancam keberadaannya. Maka tidak heran jika peraturan di desa tradisional lebih mengikat dibandingkan peraturan diperkotaan. Bahkan kadang porsi hukum yang sudah dibuat pemerintah kalah mengikat dibandingkan aturan adat di desa- desa tradisional.
Itulah persamaan dari banyaknya suku daerah yang ada. Bahwa mereka, pada dasarnya, memiliki keyakinan yang sama tentang hidup. Menjaga hubungan baik antar sesama manusia dan kepada alam sekitar sebagai wujud tanda syukur mereka kepada sang Pencipta. Hampir semua suku daerah mengetahui hal ini hanya berbeda penyebutan dan teknis dilapangan yang mengikuti dimana mereka hidup.
Tapi kemudian terdapat satu pertanyaan muncul jika konsep diatas benar. Jika ajaran leluhur itu sama, lantas siapa sosok manusia yang mengenalkan teori ini kepada mereka?  Bukankah sang Pencipta tidak berbicara langsung kepada manusia? lalu apakah konsep ini berhubungan dengan Sunda Land yang banyak diakui orang sebagai negeri atlantis yang hilang? Apakah konsep ini memiliki andil dalam masa kejayaan Nusantara pada masa lampau?

Baca lanjutan artikel disini


Sayanusantara






No comments:

Post a Comment

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...