Suku Korowai, Mutiara Yang Tersembunyi Di Padalaman Papua

Rumah Tinggi suku Korowai adalah satu- satunya rumah pohon tertinggi yang ada di dunia. Bahkan banyak pula institusi dari perguruan tinggi yang ada diluar negeri yang mempelajari cara mereka membuatnya..


Korowai adalah salah satu suku yang ada di pulau Papua yang banyak dikenal sebagai suku yang tertutup. Suku ini banyak tinggal dipedalaman pulau Papua dan samakin sulit di temukan saat ini. Bahkan saking tertutupnya, suku ini pernah tidak mengenal manusia lain selain mereka yang ada didalam suku itu sendiri.
Suku Korowai selain terkenal sebagai suku yang tertutup juga terkenal dengan pola kehidupannya. Tidak banyak informasi yang dapat digali tentang suku ini. Tulisan- tulisan yang banyak beredar dimedia kebanyakan hanya berisi sekilas tentang pola kehidupan mereka. Untuk itulah ketika kita mencari informasi tentang suku Korowai, yang kita temui biasanya hanya tiga hal. Yaitu suku kanibal, suku yang tidak memakai koteka, dan suku pembuat rumah pohon tertinggi didunia.
Suku Korowai. Sumber: Unikbaca.com
Namun sedikitnya informasi yang tersaji memang mungkin mengidikasikan bahwa keberadaan suku ini sangat tertutup dari kehidupan modern. Ciri- ciri masyarakat adat dipedalaman yang sesungguhnya. Karena mungkin mereka tidak mau terlalu jauh berinteraksi dengan masyarkat luas karena ingin mempertahankan budaya dan tradisi leluhur mereka.
Walaupun tertutup, namun bukan berarti suku Karowai adalah suku yang tertinggal dari jaman modern. Hal ini terlihat dari bagaimana mereka membuat rumah hunian mereka yang dibuat diatas pohon. Ketinggian rumah yang berada diatas pohon ini memang bervariasi, namun ada juga yang mengatakan bahwa suku Korowai bisa membuat rumah diatas pohon dengan ketinggian 50 meter dari permukaan tanah.
Mungkin tidak banyak orang yang dapat membuat rumah setinggi rumah yang dibuat suku Korowai. Terlebih rumah yang mereka bangun adalah jenis rumah yang dibangun tanpa bahan bangunan pada umumnya.  Mereka membangun rumah tanpa bantuan alat- alat berat, papan dan bahan- bahan lain. Dan bahkan mereka tidak menggunakan paku untuk merekatkan satu kayu dengan kayu lainnya dalam rumah mereka.

Tradisi membuat rumah pohon, mereka menyebutnya Rumah Tinggi, sudah ada sejak jaman leluhur suku Korowai. Karena memang selain terkenal dengan keahlian membuat rumah diatas pohon ini, suku Korowai juga dikenal sebagai suku yang hidup diatas pohon. Ada banyak alasan yang mendasari suku Korowai untuk tinggal diatas pohon.
Yang pertama, binatang buas. Pulau Papua adalah salah satu pulau yang masih lebat kawasan hutannya. Bahkan banyak pula hutan- hutan dipedalaman Papua yang belum terjamah oleh manusia modern. Hanya kelompok- kelompok masyarakat suku adat saja yang kebanyakan ada di pedalaman hutan seperti itu. Meskipun begitu, tinggal didalam hutan lebat yang liar selalu menuntut manusia yang ada didalamnya untuk dapat terus hidup karena mereka dikelilingi oleh alam yang liar. Salah satunya adalah hewan liar. Untuk itulah masyarakat suku Korowai membuat rumah diatas ketinggian tertentu. Agar mereka terhindar dari gangguan ataupun serangan dari hewan- hewan liar yang selalu memungkinkan untuk menyerang mereka.


Yang kedua adalah konflik. Pulau Papua sama dengan pulau- pulau besar lainnya yang ada di Indonesia. Terdiri dari banyak suku. Namun tentu saja keadaan suku- suku yang ada di Papua berbeda dengan keadaan suku- suku yang ada di daerah lain di Indonesia. Suku- suku yang ada di Papua ketika ingin menunjukan kekuatan atau kebesarannya biasanya selalu dengan cara berperang. Permasalahan yang selalu muncul didalam suku- suku di Papua ataupun antara suku terkadang diselesaikan dengan cara berperang. Inilah yang menjadikan suku Korowai membangun rumah yang berada di ketinggian yang berguna untuk menghindari terjadinya perang suku atau terlibat didalam perang suku antara suku- suku diluar suku mereka. Makin tinggi mereka membuat rumah, akan semakin aman pula keadaan mereka.

Yang ketiga, alasan lain yang mendasari mereka membuat Rumah Tinggi adalah mungkin karena mereka ingin hidup menyatu dengan alam dan lebih bersinergi dengannya. Karena salah satu ciri suku- suku adat yang ada dipedalaman adalah ketergantungan mereka kepada keadaan alam disekitar mereka. Hal ini terjadi karena segala kebutuhan yang mereka butuhkan atau mereka inginkan ada tersedia didalam hutan. Untuk itulah mereka hidup menyatu dengan alam agar mereka semakin dekat dengan alam. Karena ketika mereka dekat dengan alam, mereka dapat menjaga alam sehingga keseimbangan alampun terwujud. Bagi masyarkat adat yang ada dipedalaman, secara umum, alam semesta terkadang di analogikan sebagai ibu. Karena dari alamlah mereka lahir, alam lah yang mengasuh dan membesarkan mereka hingga akhirnya mereka meninggal. Kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari alam seperti kehidupan seorang anak yang tidak bisa dilepaskan dari orangtua nya. Terutama ibu.
Suku Korowai Sumber: abouturban.com
Dalam kesehariannya, suku Korowai menggunakan bahasa adat mereka yang termasuk dalam keluarga Awyu Dumut yang merupakan bagian bahasa dari filum Trans-Nugini. Bahasa ini juga telah diteliti oleh seorang ahli bahasa dari musionaris asal Belanda.
Rumah Tinggi suku Korowai biasanya dibangun dengan dahan- dahan pohon sebagai pondasinya. Sedangkan bahan- bahan lainnya mereka menggunakan bahan yang sudah tersedia di alam sekitar mereka. Seperti kayu- kayu, akar- akaran, dan daun- daunan sebagai atapnya. 
Rumah Tinggi suku Korowai adalah satu- satunya rumah pohon tertinggi yang ada di dunia. Bahkan banyak pula institusi dari perguruan tinggi yang ada diluar negeri yang mempelajari cara mereka membuat Rumah Tinggi. Seperti misalnya konstruksi yang digunakan ataupun mungkin dari segi hitung- hitungan matematikanya. Dan karena merupakan satu- satunya suku yang membuat rumah pohon tertinggi didunia inilah yang menjadikan suku Korowai dikenal juga sebagai Manusia Pohon.
Dibutuhkan sebuah keberanian tersendiri untuk bisa membuat Rumah Tinggi seperti yang dibuat oleh suku Korowai. Karena jika dilihat kebelakang, mungkin leluhur suku Korowai dahulu juga diharuskan untuk memutar otak mereka ketika dituntut kebutuhan untuk hidup yang aman dari kehidupan yang ada dipedalaman Papua yang liar. Sehingga akhirnya mereka berhasil menciptakan sebuah Rumah Tinggi.
Tentu tidak banyak yang berfikir bahwa dibalik kesederhaannya, ataupun image kanibal yang melekat di suku ini, suku Korowai adalah suku yang genius. Bagaimana tidak, karena dibalik kesederhanaannya yang hidup didalam pedalaman hutan, mereka mampu menciptakan sebuah solusi yang sampai saat ini belum bisa dipecahkan bagaimana mereka membuatnya. Inilah bukti bahwa sebenarnya bangsa Indonesia adalah bangsa yang genius karena selalu mampu memecahkan permasalahan mereka dengan kesederhanaan. Dan sangat disayangkan jika tradisi serta budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun ini hilang dan tidak mampu memberikan cahaya inspirasi bagi kita dalam menjalankan kehidupan sehari- hari sebagai generasi penerus bangsa.. Ini Nusantara Kita

Sayanusantara


Referensi:
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Korowai
2. https://www.brilio.net/news/suku-di-papua-ini-tinggal-di-rumah-pohon-tertinggi-di-dunia-50-meter-150325c.html


<< Sebelumnya                       Selanjutnya >>

Tradisi Ojung, Tradisi Sakral Mengingat Ajaran Leluhur di Madura Jawa Timur

Banyaknya luka yang didapat biasanya menandakan ketangkasan dan keterampilan pemain tersebut dan dianggap lebih jago dan dikategorikan sebagai pemenang...


Tradisi adu tangkas dengan menggunakan kayu rotan ternyata terdapat di beberapa tempat di tanah Nusantara. Karena selain terkenal dengan nama Peresean di Lombok atau Ujungan di Banjar Negara, terdapat juga tradisi serupa di Pulau Madura, Jawa Timur, dengan nama Ojung. Hanya saja mungkin Ojung termasuk salah satu tradisi yang sudah hampir punah dibanding keduanya.
Tidak banyak perbedaan baik dalam segi asal usul maupun aturan dalam penyelenggaraan tradisi ini. Perbedaan yang mencolok dari tradisi Ojung ini dapat terlihat ketika tradisi ini digelar. Karena peserta yang mengikuti permainan ini tidak dilengkapi dengan alat pelindung semacam tameng seperti yang biasa ditemui pada tradisi Peresean dan Ujungan. Perlindungan dalam tradisi adu tangkas ini hanya libatan kain pada lengan salah satu peserta dan pelindung kepala.
Tradisi Ojung. Sumber: Youtube.com
Tapi tidak hanya dibagian pelindung saja yang membedakan Ojung dengan tradisi Peresean dan Ujungan, perbedaan juga terlihat dari kayu rotan. Rotan yang digunakan dalam tradisi ini tidak berujung tumpul, melainkan dibuat bergerigi. Sehingga ketika bagian yang bergerigi itu mengenai kulit dari lawan, dipastikan kulit tersebut akan langsung terluka dan memar. Ujung dari kayu rotan inilah yang menjadikan salah satu faktor bahwa tradisi Ojungan dirasa lebih berbahaya dibandingkan dengan tradisi Peresean di Lombok dan Ujungan di Banjar Negara.


Tradisi adu tangkas Ojung biasanya berlangsung selama lima sampai tujuh menit disetiap pertandingannya. Namun jika salah satu peserta yang bertanding merasa masih mampu untuk meneruskan pertandingan, maka ia dipersilahkan untuk ikut tanding lagi dengan lawan yang berbeda pada pertandingan selanjutnya.


Arena pertandingan dalam tradisi Ojung berukuran 10x10 meter dimana setiap pertandingan dipimpin dan diatur oleh wasit yang disebut Peputoh. Kehadiran Peputoh sangat penting karena tugasnya yang mengawasi, mengatur waktu, serta sebagai antisipasi dari berbagai macam kemungkinan atas hal- hal yang tidak diinginkan dari atau kepada penonton.
Sama halnya dengan tradisi Peresean dan Ujungan, tradisi Ojung di Sumenep, Jawa Timur ini adalah tradisi yang digelar sebagai ajang untuk menunjukan keberanian, ketangkasan, jati diri, dan kewibawaan setiap pemainnya. Sehingga tidak jarang ada pemain- pemain yang melakukan trik- trik khusus untuk menunjukan eksistensinya sebagai laki- laki sejati didalam tradisi ini. Dan untuk mengantisipasi adanya kemungkinan kecurangan dalam tradisi ini, Peputoh lah yang mengawasi berjalannya pertandingan.
Biasanya adu tangkas lain menggunakan poin atau kekuatan dari pemain sebagai indikator untuk menentukan pemenang didalam pertandingan. Hal ini tidak berlaku di dalam tradisi Ojung. Tradisi Ojung tidak mengenal istilah menang atau kalah seperti pertandingan adu tangkas lain. Jika pemain sama- sama kuat dalam bertanding, biasanya pertandingan hanya akan diselesaikan ketika waktu yang ditentukan sudah habis. Dan banyaknya luka yang didapat biasanya menandakan ketangkasan dan keterampilan pemain tersebut dan dianggap lebih jago dan dikategorikan sebagai pemenang.
Tradisi Ojung. Sumber: Triptrus.com
Tradisi Ojung terasa semakin sakral bagi masyarakat yang menyaksikan ataupun pemain yang ikut serta. Karena ketika tradisi ini digelar, biasanya musik tradisional dimainkan. Masyarakat setempat mengenalnya dengan musik Okol dan kidungan Madura. Seni musik ini termasuk seni yang hanya bisa dijumpai di daerah Sumenep dan sekitarnya karena termasuk seni tradisional. Seni musik ini biasanya terdiri dari tiga buah Dung-Dung yang terbuat dari akar pohon Siwalan yang dilubangi pada bagian tengahnya dan berbunyi seperti bas, lalu ada juga alat musik Kerca dan satu alat musik Kleningan sebagai pengatur tempo.
Tradisi Ojungan yang merupakan salah satu tradisi yang kasar dan tergolong permainan keras ini kini sudah mulai terancam punah. Mungkin karena termasuk tradisi yang kasar dan keras sehingga banyak generasi muda yang merasa anti dengan tradisi ini. untuk itulah tradisi ini semakin sering digelar oleh masyarakat setempat guna mempertahankan keberadaannya. Karena bagi masyarakat setempat, terutama tua- tua setempat, menganggap bahwa tradisi ini adalah salah satu tradisi yang mengingatkan mereka tentang rasa syukur mereka terhadap nikmat yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada hasil pertanian mereka. Tradisi Ojungan adalah salah satu tradisi yang sudah tua dan sudah ada sejak pangeran Letnan Batu Putih berkuasa di daerah setempat.


Tradisi adalah hal yang sangat penting untuk dilestarikan oleh generasi muda. Bukan hanya sekedar dari nilai sejarah dari kenapa tradisi itu bisa ada, tapi juga menyangkut kepada prinsip hidup dan juga pola pikir masyarakat. Karena kita bisa mengetahui bagaimana cara para pendahulu kita, nenek moyang kita, berfikir dan memecahkan sebuah permasalahan. Dan sangat disayangkan jika hal tersebut tidak bisa kita pahami dan tidak bisa menginspirasi kita dalam berkehidupan sehari- hari karena tradisi itu sudah hilang.
Jadi hanya satu cara untuk bisa mengenal lebih jauh nenek moyang bangsa Nusantara dan ajaran- ajaran yang diwariskannya secara turun temurun, yaitu dengan mengenal budaya dan tradisi tradisional yang ada dimasyarakat. Karena hanya dengan mempelajari semua ajaran itulah kita bisa mengetahui seberapa hebat, seberapa besar, seberapa perkasa, atau seberapa pintarnya nenek moyang bangsa Nusantara tempat kita dilahirkan dan dibesarkan ini. Karena dengan cara apalagi kita bisa mengenal dan lebih dekat dengan nenek moyang bangsa Indonesia jika semua yang diajarkan dan diwariskan mereka sudah hilang? Ini Nusantara Kita…

Sayanusantara.blogspot.co.id


Referensi:
1.http://news.detik.com/berita-jawa-timur/1303858/budaya-ojung-yang-nyaris-punah
2.http://portalmadura.com/saling-melukai-budaya-ojung-masih-dilestarikan-7100
3.https://www.limadetik.com/2016/03/22/23558/


Kartini, Dengan Sastra Dunia Dapat Berubah

Melalui karya tulisnya Kartini mengungkapkan tentang kehidupan perempuan pribumi di tanah Nusantara, terutama di Jawa...

Siapa yang tidak mengenal sosok Kartini di Indonesia? Kartini adalah salah satu sosok fenomenal yang pernah dimiliki bangsa Nusantara karena jasa- jasanya. Bahkan tidak hanya di Indonesia, nama Kartini juga dikenal oleh banyak bangsa yang ada di dunia karena pemikirannya. Berbeda dengan jasa- jasa pahlawan lainnya yang berjuang demi kemerdekaan Republik Indonesia, Kartini berjuang demi kesetaraan wanita dihadapan kaum pria atau yang lebih dikenal dengan emansipasi wanita. Dan perbedaan lainnya dengan para pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia adalah bahwa Kartini tidak berjuang dengan senjata, melainkan dengan sastra.
Nama lengkap Kartini adalah Raden Adjeng Kartini. Raden Adjeng adalah gelar yang disematkan kepada anak dari para bangsawan pada masa lalu. Lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879, Kartini hidup selama 25 tahun sampai beliau meninggal pada 17 September 1904 di Rembang, Jawa Tengah.
Kartini. Sumber: Wikipedia
Kartini merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Singkatnya, Kartini adalah sosok yang lahir pada masa pemerintahan daerah setempat memberikan pendidikan barat kepada anak- anaknya. Hal itulah yang mengakibatkan banyak anak muda pada saat itu yang sudah mahir dalam berbahasa dan mengenal budaya barat. Dan karena merupakan keturunan dari bangsawan (kakek dan ayahnya merupakan Bupati Jepara), Kartini pun dapat bersekolah di sekolah bertaraf internasional yang saat itu ada. Yaitu Europese Lagere School atau yang dikenal dengan nama ELS. Karena bertaraf internasional, Kartini pun dapat mempelajari bahasa Belanda yang merupakan salah satu bahasa yang berkembang di pulau Jawa kala itu. Dengan keterampilan berbahasa asing dan tinggal dengan kebudayaan asing yang sangat dekat, menjadikan Kartini dapat meraba pola pikir dari bangsa asing. Hanya saja keingiannya untuk terus belajar di sekolah harus pupus pada usia 12 tahun karena Kartini harus di pingit untuk menikah.
Namun walaupun tidak lagi bersekolah, Kartini tetap belajar dengan giat ketika berada di rumah. Dengan kemampuan berbahasa Belanda yang baik, Kartini dapat membaca buku- buku, koran ataupun majalah yang berasal dari Eropa, khususnya Belanda. Buku- buku asing yang dibaca oleh Kartini muda ternyata mampu memberikan inspirasi pemikiran tersendiri bagi Kartini tentang pola pikir wanita di negara lain dan keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Karena bagi Kartini, ketika membandingkan kehidupan perempuan pribumi dengan perempuan dari negara lain, kehidupan perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah. Pemikiran tersebut kemudian dia tulis didalam sebuah surat- surat yang dia kirimkan kepada teman- temannya yang merupakan korespondensi dari Belanda. Salah satunya ada Rosa Abendanon.
Pemikiran Kartini tentang status sosial perempuan pribumi kepada teman- teman asing inilah titik awal dari perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak- hak perempuan. Seringnya surat- surat yang dikirim oleh Kartini mendapatkan banyak pihak dari Belanda mendukung pemikiran yang diusung oleh Kartini. Dukungan- dukunganpun banyak mengalir yang semakin membuat semangat Kartini semakin menggelora untuk berjuang.
Dukungan yang didapat Kartini atas buah pikirannya menjadikan Kartini semakin giat menulis dan membaca. Beberapa surat kabar yang dibaca Kartini adalah surat kabar Semarang De Locomotief asuhan Pieter Brooshooft dan majalah wanita Belanda De Holladsche Lelie. Tapi tidak hanya surat kabar saja yang dibaca oleh Kartini muda, bahkan sebelum usianya menginjak 20 tahun, Kartini sudah membaca banyak buku. Seperti buku bejudul Max Havelaar dan Surat- Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus, buku karya Van Eedenm, buku karya Augusta de Witt, buku roman- feminis karya Goekoop de-Jong Van Beek, dan buku roman anti-perang karya Berta Von Suttner, Die Wafen Nieder. Semua buku yang dibaca Kartini adalah buku- buku yang berbahasa Belanda.
Pemahaman yang didapat dari buku- buku yang dibacanya menjadikan pemikiran Kartini semakin kaya dan terbuka. Dan untuk memperkenalkan buah pikirannya tersebut, tidak jarang Kartini mengirim tulisannya yang dimuat di media cetak De Hollandsche.


Melalui tulisan- tulisannya Kartini mengungkapkan tentang kehidupan perempuan pribumi di tanah Nusantara, terutama di Jawa. Kartini melihat bahwa perempuan pribumi tidak bisa hidup dengan bebas karena terikat oleh aturan- aturan tertentu yang tidak tertulis. Seperti tidak bisa bebas mendapatkan pendidikan di sekolah, harus bersedia di pingit dan dinikahi oleh laki- laki yang tidak dikenal dan tidak dicintainya, dan harus bersedia di madu. Permasalahan inilah yang coba dipecahkan oleh perjuangan Kartini sehingga perempuan- perempuan pribumi mendapatkan hak- hak yang sama dengan hak- hak yang dimiliki kaum laki- laki pribumi.
Harapan- harapan Kartini tehadap kehidupan sosial kaum perempuan pribumi tergambar dengan jelas dalam tulisan- tulisannya. Secara umum, tulisan- tulisan Kartini berdasar kepada Religiwusiteit, Wijsheid en Schoonheid (Ketuhanan, Kebijaksanaan, dan Keindahan), dan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (Cinta tanah air).
Kartini berbeda dengan pahlawan nasional lainnya yang ada di Indonesia. Karena mungkin hanya Kartini sajalah yang berjuang demi persamaan hak dengan tulisan. Tulisan- tulisan Kartini ternyata mampu memberikan sebuah inspirasi tersendiri bagi teman- temannya di luar Nusantara sehingga rela mendukung gerakannya yang termasuk gerakan ‘melawan arus’ karena menentang adat yang sudah berlaku sejak lama.
Terlepas dari banyaknya kontroversi tentang Kartini sebagai pahlawan nasional, dari Kartini kita bisa mengambil sebuah pelajaran tersendiri bahwa sebuah tulisan dapat mempengaruhi keadaan sosial dunia. Berapa banyak tulisan yang dibuat atas dasar suatu kejadian ataupun buah pikiran yang dapat menginspirasi orang untuk bertindak? Tulisan ternyata lebih banyak berbicara dibandingkan dengan suara. Dan itulah yang sudah dibuktikan oleh Kartini.

Kutipan Terkenal Ir.Soekarnao- Presiden Petama Republik Indonesia
Mungkin saja teman- teman asal Belanda Kartini tidak pernah berjumpa dengan Kartini secara langsung. Tapi dengan membaca tulisan- tulisan Kartini, mereka menjadi tahu seperti apa Kartini itu. Baik secara psikologi, pendidikan, bahkan arah pemikiran. Tulisanlah yang kemudian menjadikan nama Kartini masih dikenang sampai dengan saat ini.
Terdapat sebuah kutipan yang mengatakan bahwa “Sesungguhnya dunia itu berasal dari sebuah tulisan”. Hal yang mendasari kutipan ini adalah bahwa manusia modern seperti saat ini tidak akan mengenal apa itu dunia dan apa saja yang ada didalamnya kecuali lewat sebuah tulisan. Semua itu terjadi karena hasil penelitian dari para peneliti ditulis oleh mereka sehingga tulisan itu bisa kita baca dan mengerti apa yang mereka ketahui.
Jadi untuk dapat menjadi sesuatu yang besar, untuk memperjuangkan sesuatu, mulailah menulis seperti yang dilakukan oleh Kartini. Karena hanya dengan tulisanlah dunia akhirnya mengetahui bahwa terdapat seorang pejuang kemanusiaan yang rela berjuang dan berkorban di tanah Nusantara seperti Kartini. Tetapi tentu saja, Kartini hanyalah seorang contoh yang telah memberikan kita contoh bagaimana cara berjuang. Generasi muda Indonesia lah kemudian yang harus menjadi ‘terang’ agar dapat menerangi Indonesia lewat karya- karya nyata.  Karena ketika kita mampu berkarya nyata, dunia pasti akan lebih mengenal lagi Indonesia melebihi dikenalnya Indonesia pada masa Kartini dan pejuang- pejuang kemerdekaan lainnya.
Karena mungkin itulah maksud dari kutipan Habis Gelap Terbitlah Terang yang menerangkan tentang suatu periode waktu. Dari masa tidak diketahui, masa yang gelap, masa dimana segalanya menjadi terasa tidak jelas menjadi sesuatu yang terang, dipahami, dimengerti, dikenal. Dimana masa sebelum Kartini memperjuangkan hak- hak wanita adalah masa gelap, masa pejuangan Kartini adalah terbit, dan masa kini adalah terang. Karena Kartini adalah seperti api pematik yang akan menyalakan api besar yang dapat menerangi semua yang gelap. Dan api yang besar itu adalah generasi muda Indonesia.

Sayanusantara

Referensi: https://id.wikipedia.org/wiki/Kartini


Menjijikan Bagi Banyak Orang, Tapi Benda Inilah Yang Digunakan Desa Sade Untuk Mengepel Rumah

Mungkin penggunaan tanah liat, sekam padi dan alang- alang sudah teramat biasa dalam pembuatan rumah tradisional masyarakat adat. Tapi hanya di dusun Sade inilah kotoran kerbau digunakan untuk pembuatan rumah..


Sade adalah salah satu dusun yang berada di desa Rembitan, Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Sade adalah dusun yang dihuni oleh masyarakat suku Sasak yang menjadi suku asli pulau Lombok. Walaupun masyarakat suku Sasak di dusun Sade sudah banyak mengenal perkembangan tehnologi, tapi masyarakat suku Sasak Sade masih memegang erat kebudayaan dan tradisi nenek moyang mereka sampai dengan saat ini. Salah satunya adalah dalam hal pembuatan rumah.
Pintu Masuk Desa Sade. Sumber: wisatalombokaja.blogspot.co.id
Masyarakat suku Sasak di dusun Sade dalam membuat rumah hunian masih menggunakan tehnik yang tradisional. Tehnik dalam pembuatan rumah ini sudah diwariskan didalam masyarakat suku Sasak sejak dahulu kala oleh para leluhur mereka. Dalam pembuatan rumah, masyarakat suku Sasak Sade tidaklah menggunakan material yang umum digunakan banyak oran. Karena mereka membuat rumah dengan bahan yang sudah disediakan alam sekitar mereka tinggal.
Rumah yang dibuat oleh masyarakat suku Sasak Sade biasanya terbuat dari bambu yang banyak tumbuh di sekitar dusun Sade. Bambu biasanya digunakan untuk membuat kuda- kuda atap dimana pembuatan serta perakitan kuda- kuda ini tidak menggunakan paku sebagai perekatnya. Selain digunakan untuk kuda- kuda atap rumah, bagian dinding dari rumah juga terbuat dari anyaman bambu. Tapi tidak hanya bagian dinding dan kuda- kudanya saja yang terbuat dari bahan alami, bagian atap rumah juga terbuat dari ijuk yang bisa digunakan sampai 15 tahun lamanya. Lama kuatnya ijuk tergantung dari kerapatannya sebagai atap rumah. Semakin rapat ijuk semakin kuat pula atap tersebut. Rumah yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Sasak di Sade ini berbeda dengan kebanyakan rumah adat yang ada di Indonesia. Karena rumah ini tidak dibuat panggung sehingga rumah langsung menempel ke tanah. Dan rumah tradisional tersebut dikenal dengan nama Bale oleh masyarakat setempat.
Secara umum, terdapat dua buah jenis bangunan yang ada di dusun Sade. Yaitu Bale dan Lumbung. Dari sisi konstruksi, bahan yang digunakan untuk membuat Bale sudah dibahas diatas. Namun dalam segi ruangan,  sebuah Bale dibagi menjadi dua bagian. Yaitu Bale Dalam dan Bale Luar. Bagian Bale Dalam, biasanya digunakan untuk ruangan dapur sekaligus ruangan untuk anggota keluarga wania. Sedangkan Bale Luar digunakan untuk ruang tamu serta tempat anggota keluarga pria. Bale Dalam dan Bale Luar dihubungkan dengan sebuah pintu geser. Dan uniknya, bagian Bale Dalam tidak memiliki jendela sehingga cahaya matahari atau sirkulasi udara hanya berasal dari pintu geser penghubung dengan Bale Luar.
Jika Bale digunakan untuk tempat tinggal sehari- hari, Lumbung digunakan untuk menyimpan hasil panen. Dengan adanya Lumbung, kita bisa mengetahui bahwa masyarakat suku Sasak di Sade bermata pencaharian sebagai petani. Dan satu Lumbung terkadang bisa digunakan oleh dua sampai tiga keluarga.
Tapi sebenarnya, ada bangunan lain selain Bale dan Lumbung. Bangunan ini dikenal dengan nama Berugak. Berugak adalah sebuah bangunan yang tidak memiliki dinding dan berbentuk panggung. Satu bangunan Berugak biasanya disanggah oleh empat tiang (biasa disebu Sekepat)  atau enam tiang (biasa disebut Sekenem). Tiang Berugak dibuat dari bambu sedangkan atapnya terbuat dari alang- alang. Berugak biasanya berada di depan atau samping bangunan Bale yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu atau tempat berkumpul dan melepas penat lelah beraktifitas sehari- hari. Selain itu Berugak juga biasa digunakan sebagai tempat untuk pertemuan internal keluarga.
Dalam pembuatan Bale, selain menggunakan bambu biasanya juga terdapat bahan lain yang diperlukan. Seperti tanah liat, sekam padi, alang- alang, dan kotoran kerbau. Mungkin penggunaan tanah liat, sekam padi dan alang- alang sudah teramat biasa dalam pembuatan rumah tradisional masyarakat adat. Tapi hanya di dusun Sade inilah kotoran kerbau digunakan untuk pembuatan rumah.
Kotoran kerbau tidak digunakan sebagai bahan bangunan seperti pada penggunaan bambu, alang- alang ataupun tanah liat. Penggunaan kotoran kerbau biasanya digunakan lebih kepada lantai. Konon, sebelum adanya plester semen, kotoran kerbau ini digunakan untuk pelapis alas rumah. Tapi kini walaupun masyarakat suku Sasak di dusun Sade sudah menggunakan semen untuk plester alas umah, penggunaan kotoran kerbau masih digunakan.
Bagi sebagian orang penggunaan kotoran kerbau sangat menjijikan. Terlebih jika digunakan untuk alas tempat tinggal. Namun bagi masyarakat Sasak di dusun Sade, semuanya terlihat biasa- biasa saja. Bahkan mereka menggunakan kotoran kerbau ini sebagai bahan mengepel rumah yang bisa dilakukan sampai tiga kali dalam satu minggu. Cara untuk mengepel dengan kotoran kerbau inipun sangat unik. Karena kotoran kerbau yang baru diambil dari kandang kerbau hanya perlu dicampur dengan sedikit air sebelum digunakan. Tidak perlu bahan lain, tidak perlu waktu lebih lama.
Penggunaan kotoran kerbau sebagai media membersihkan rumah ini adalah salah satu tradisi yang masih dijaga oleh masyarakat suku Sasak di dusun Sade. Walaupun bagi banyak orang tradisi ini menjijikan, tapi masyarakat suku Sasak di dusun Sade tidak berpikiran seperti itu. Bagi mereka rumah yang sudah dipel menggunakan kotoran kerbau ini mampu mengendapkan debu dan akan menjadikan rumah menjadi hangat serta tidak akan ada nyamuk yang akan mengganggu penghuni rumah. Dan walaupun kotoran kerbau itu berbau menyengat, uniknya ketika digunakan untuk mengepel rumah, rumah tidak menjadi bau.
Suasana Desa Sade. Sumber: Dilombok.com
Walaupun pembuatan rumah serta bangunan lain di dusun ini masih sangat tradisional dengan mempertahankan tradisi leluhur, tentu saja terdapat hal yang harus menjadi perhatian bagi seseorang untuk bisa masuk kedalam bangunan, terutama Bale. Bangunan Bale umumnya dibuat dengan atap rendah. Rendahnya atap Bale inilah yang menjadikan setiap orang yang masuk kedalam Bale harus menunduk. Namun dibalik hal itu, menunduknya orang yang masuk mengandung sebuah filosofi tersendiri. Yaitu penghormatan untuk pemilik rumah.
Selain itu disetiap Bale biasanya terdapat anak tangga dari Bale Luar ke Bale Dalam yang berjumlah tiga anak tangga. Hampir seluruh Bale yang ada di dusun Sade memiliki tangga dengan tiga anak tangga ini. Maksud dari tiga anak tangga ini adalah pengormatan yang harus diberikan oleh semua orang kepada ketiga anak tangga yang masing- masing memiliki makna tersendiri. Anak tangga teratas adalah simbol dari Tuhan Yang Maha Esa, anak tangga kedua adalah simbol dari ibu, sedangkan anak tangga ketiga anak simbol dari ayah. Bagi masyarakat Sasak di dusun Sade, penghormatan terhadap Tuhan adalah yang paling tinggi hukumnya dibanding penghormatan kepada kedua orangtua.
Diperlukan sebuah pemahaman tersendiri bagi banyak orang untuk membuat rumah seperti masyarakat suku Sasak di dusun Sade, terlebih dalam hal pembersihannya. Tapi dari sini kita bisa mengambil sebuah pelajaran bahwa alam selalu dapat diandalkan manusia untuk hidup. Seperti misalnya kotoran hewan yang biasa banyak digunakan untuk pupuk oleh petani atau bahan biogas ternyata juga mampu memberikan sebuah fungsi lain didalam rumah. Dan dari masyarakat suku Sasak Sade, kita bisa tahu bahwa suku- suku yang ada di Nusantara adalah suku- suku yang pintar dan jenius dalam mengolah alam semesta. Karena mungkin bagi mereka, hanya dengan mengolah alamlah mereka dapat membuktikan kepada Tuhan bahwa mereka sangat mensyukuri nikmat yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Mungkin itulah kenapa terdapat tiga anak tangga di setiap Bale masyarakat suku Sasak di dusun Sade yang disimbolkan sebagai penghormatan kepada Tuhan. Agar mereka selalu ingat bahwa Tuhan harus selalu dihormati didalam setiap kehidupan manusia atas nikmat yang telah diberikan-Nya.

Sayanusantara


Referensi:
1.https://id.wikipedia.org/wiki/Sade,_Lombok_Tengah
2.http://sadelombok.blogspot.co.id
3.http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/04/mengintip-budaya-suku-sasak-di-desa-sade


<< Sebelumnya                      Selanjutnya >>

Masyarakat Kampung Naga, Menjaga Warisan Leluhur Itu Penting. Ini Alasannya...

Tabu atau pantangan atau Pamali adalah hal lain yang masih dipegang kuat oleh masyarakat kampung Naga didalam kehidupan sehari- hari mereka


Kampung Naga adalah salah satu kampung yang berada di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Lebih tepatnya berada di wilayah desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Letak kampung ini tidak jauh dari jalan raya yang menjadi penghubung kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung Naga berada di sebuah lembah yang sangat subur. Keadaan lingkungan alam yang terjaga dengan baik menjadikan kampung ini seakan- akan menyatu dengan alam. Hubungan antara kampung Naga dengan alam sekitar adalah seperti hubungan simbiosis Mutualisme dimana satu sama lain saling melengkapi. Masyarakat kampung Naga adalah masyarakat yang tidak terlalu terbuka dengan keadaan sosial di luar kampung.

Siapa Bilang Mereka Tidak Sekolah? Pertama Kali Dibahas. Anak- Anak Pedalaman Indonesia Itu Homeschooling

Mereka tidak menyekolahkan anak- anaknya di sekolah formal karena mereka ingin anak- anak mereka mengetahui apa yang mereka, selaku orang tua, ketahui.


Pendidikan sudah menjadi kebutuhan pokok manusia untuk hidup. Karena dengan pendidikan, seorang manusia mendapatkan ilmu- ilmu pokok yang diperlukan dalam kehidupan sehari- hari. Lebih dari itu, di Indonesia sendiri, pendidikan adalah hak yang harus didapatkan oleh setiap orang. Berbagai macam program juga dibuat dalam rangka memenuhi kebutuhan ini oleh pemerintah Indonesia. Baik dalam teknis ataupun program- program penunjang lainnya. Seperti berjalannya program beasiswa dan Wajib Belajar 12 tahun.
Pendidikan secara umum dibagi menjadi dua jenis. Yaitu pendidikan secara formal dan pendidikan secara informal. Pendidikan secara formal adalah kegiatan pendidikan yang berdasarkan lembaga- lembaga atau tempat- tempat yang sudah disediakan oleh pemerintah seperti sekolah- sekolah atau institusi pendidikan pada umumnya. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang dilaksanakan selain dari mengikuti lembaga- lembaga pemerintah seperti misalnya belajar di rumah dimana orangtua sebagai figur utamanya. Biasanya metode pendidikan belajar ini dikenal dengan sebutan Homeschooling.
Banyak yang beranggapan bahwa Homeschooling atau sekolah di rumah adalah jenis pendidikan yang mahal dan merepotkan. Karena pendidikan ini diharuskan mendatangkan tenaga ajar atau guru kerumah untuk mengajar. Itulah kenapa Homeschooling biasanya hanya dilaksanakan oleh mereka yang memiliki kocek penghasilan yang lebih besar dari yang lainnya. Dan Homeschooling, selanjutnya disebut sebagai Sekolah Rumah, biasanya juga dilakukan oleh mereka yang sibuk bekerja sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk mengikuti pelajaran di sekolah- sekolah formal yang waktu belajarnya sudah ditetapkan. Tapi diluar dari pemahaman itu, Sekolah Rumah adalah salah satu penunjang dari keberlangsungan suatu budaya atau tradisi dan adat istiadat suatu suku di tanah Nusantara. Tidak percaya?
Pada essensinya, Sekolah Rumah adalah sistem pendidikan yang dilakukan dirumah dibawah pengawasan dari orang tua secara langsung. Walaupun dibawah pengawasan orang tua secara langsung, pada umumnya orang tua yang menjalankan Sekolah Rumah bagi anaknya terkadang juga mendatangkan tanaga ajar dari luar untuk mengajar anaknya. Namun essensi utamanya. Sekolah Rumah adalah kegiatan belajar mengajar dimana orang tua terlibat secara langsung dalam pendidikan yang diterima oleh anaknya. Sehingga orangtua dapat mengontrol perkembangan anaknya dalam mendapatkan pendidikan.
Ilustrasi Homeschooling. Sumber: nasionalisme.co
Memang, menurut sayanusantara.blogspot.co.id, tidak pernah dibahas sebelumnya bahwa Sekolah Rumah adalah jenis sekolah yang sangat penting bagi keberlangsungan suatu budaya serta adat istiadat suku- suku yang ada di Indonesia. Tapi sebenarnya sudah banyak media yang membahas kehidupan suku- susku Indonesia yang melansir bahwa anak- anak dari suku- suku adat tidak bersekolah secara formal. Memang benar bahwa sebagian besar dari mereka ada yang tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah formal, namun bukan berarti mereka tidak sekolah dan tidak mendapatkan pendidikan. Karena sebenarnya mereka mendapatkan pendidikan dari orang tua mereka secara langsung melalui Sekolah Rumah.
Di negara- negara maju, seperti di Amerika atau Eropa atau negara maju lainnya, metode pendidikan Homeschooling adalah salah satu metode pendidikan yang cukup diminati oleh para orangtua. Para orangtua memiliki beberapa alasan yang membuat mereka memutuskan menyekolahkan anaknya dengan Sekolah Rumah. Beberapa alasan utama mereka adalah tentang keadaan lingkungan sekolah yang dirasa tidak cukup aman. Terlebih beberapa waktu terakhir pemberitaan nasional Indonesia diramaikan dengan tindakan senioritas serta tindakan kejahatan lainnya yang terjadi di sekolah formal. Seperti tawuran, pergaulan bebas, sampai tindakan asusila.
Selain keadaan lingkungan sekolah, tujuan lain dari orang tua lebih memilih pendidikan secara Sekolah Rumah adalah karena ingin menekankan pendidikan agama atau SQ dan juga moral kepada anak- anaknya. Dan alasan lainnya adalah banyak pula para orang tua yang tidak setuju dengan suatu tehnik penyampaian suatu pelajaran akademik yang ada di sekolah- sekolah formal. Dilansir dari Wikipedia, presentasi anak- anak 5-17 tahun di Amerika sebesar 1.7% pada tahun 1999 dan berkembang menjadi 2.9% pada tahun 2007.
Seperti disebutkan diatas, essensi dari Sekolah Rumah adalah sekolah yang menjadikan orang tua sebagai figur utama dalam proses kegiatan belajar mengajar. Orangtua harus mengawasi, memberikan pendidikan, bahkan menjadi sahabat bagi anak mereka. Dimana dengan metode ini, orangtua akan mengetahui perkembangan dari anak- anaknya secara langsung  dari waktu ke waktu sebagai bahan evaluasi mereka dalam mendidik. Dari pelajaran metode inilah kemudian anak akan mengetahui apa yang diketahui oleh orang tuanya dan orangtua akan mengetahui apa yang diketahui oleh anak- anaknya.
Itulah yang dilakukan oleh suku- suku adat yang banyak tinggal di pedalaman Indonesia. Mereka tidak menyekolahkan anak- anaknya di sekolah formal karena mereka ingin anak- anak mereka mengetahui apa yang mereka, selaku orang tua, ketahui. Karena jika mereka menyekolahkan anak- anak mereka di sekolah formal, berbagai macam keluhanpun akan muncul pada kemudian waktu. Seperti misalnya biaya pendidikan yang selalu naik disetiap waktunya dan keadaan lingkungan sekolah yang dapat mengganggu pola pikir anak- anak mereka. Untuk itulah mereka memilih menyekolahkan anak- anak mereka dirumah.
Sarana yang diberikan kepada anak- anak yang bersekolah di rumah adalah orang tua dan alam. orang tua sebagai sarana pengajaran adalah sama seperti yang telah dibahas diatas. Sedangkan alam sebagai sarana adalah anak- anak dapat belajar dengan bersentuhan langsung dengan alam. Seperti misalnya pembelajaran tentang tehnik bertahan hidup atau Survival.
Kebanyakan suku- suku di Indonesia hidup dipedalaman hutan. Dengan banyaknya pohon- pohon besar, hutan yang masih terjaga kealamiannya, serta hewan liar yang selalu mengancam keselamatan orang- orang suku adat, seakan- akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi mereka untuk hidup dan bertahan hidup. Pelajaran tehnik bertahan hidup atau survival ini tidak pernah diajarkan disekolah- sekolah formal tingkat dasar, tapi bagi anak- anak yang berpendidikan Sekolah Rumah mendapatkan ilmu ini dari orang tua mereka dan secara langsung terlibat didalam proses bertahan hidup kelompok mereka.
Hidup didalam pedalaman, menjadikan masyarakat suku- suku adat di Indonesia harus memahami jenis dan karakter dari alam lingkungan mereka tinggal. Seperti misalnya karakter- karakter musim atau cuaca bagi suku- suku adat yang hidup berladang sebagai kehidupan pokoknya. Karena sebelum melakukan kegiatan berladang, mereka diharuskan untuk mengerti jenis- jenis musim dan karakter- karakternya. Bahkan banyak juga yang harus memahami karakter dari jenis- jenis rasi bintang di langit malam sebelum menentukan kapan waktu yang tepat untuk mulai menanam atau memanen seperti pada kalender Pranatamangsa dalam kalender petani Jawa kuno
Sama halnya dengan mereka hidup secara nomaden dengan menggantungkan kehidupan mereka dari hasil buruan. Karena mereka diwajibkan untuk mengerti akan karakter dari hewan- hewan, senjata berburu dan cara membuatnya, serta mungkin racun yang akan digunakan. Jika mereka tidak mengerti akan karakteristik dari alam, sudah pasti mereka tidak akan tahu bagaimana cara berburu yang baik. Seperti misalnya waktu yang tepat untuk berburu dan jenis hewan apa yang bisa dimakan, atau bagaimana pembuatan senjata, serta pembuatan racun dan penangkalnya. Pelajaran- pelajaran inilah yang mereka berikan kepada anak- anak mereka dalam Sekolah Rumah sehingga tradisi berburu ataupun berladang suku mereka akan terus ada pada waktu yang akan datang.
Persamaan dari banyaknya suku- suku adat di Indonesia yang sangat banyak adalah mereka sangat mempertahankan ajaran dari nenek moyang atau leluhur mereka. Walaupun disetiap daerah berbeda dalam hal teknis mempertahankannya, namun mereka semua memahami bahwa ajaran dari leluhur tersebut adalah ajaran yang suci yang dijadikan panutan atau barometer kehidupan mereka sehari- hari. Itulah kenapa ajaran- ajaran tersebut kemudian dikemas dalam sebuah budaya upacara adat atau tradisi- tradisi sakral lainnya.
Jadi secara tidak langsung, Sekolah Rumah adalah sarana untuk menurunkan sifat atau pengetahuan orangtua kepada anak- anaknya agar pengetahuan tersebut terus ada. Karena jika tidak seperti itu, dengan cara apa lagi nenek moyang bangsa Nusantara menyampaikan ajaran-ajarannya kepada generasi mudanya? Walaupun mereka yang bersekolah di Sekolah Rumah tidak belajar diatas kursi dan meja, belajar di depan meja tulis dan berseragam, namun essensi dari pendidikan tentu itu bukanlah itu semua. Karena essnesi dari pendidikan itu adalah suatu cara untuk menyampaikan pemahaman dan keilmuan dari satu pihak ke pihak lainnya. Bukan tentang kursi, meja, dan seragam.
Seperti kita tahu, bahwa budaya dan tradisi adalah sebuah prinsip hidup bagi suatu bangsa. Budaya dan tradisi adalah gambaran atau image dari suatu bangsa karena menyangkut cara berfikir, pemecahan suatu masalah, serta gambaran dari pola hidup dari bangsa itu sendiri. Dan sangat disayangkan jika budaya dan tradisi yang sudah terjaga dan diwariskan tersebut hilang karena tidak ada generasi penerus yang memahami essensi dan eksistensi dari budaya dan tradisi itu. Dan ternyata Sekolah Rumah yang dilakukan oleh suku- suku adat di Indonesia sangat berperan penting dalam memahamkan budaya dan tradisi mereka kepada generasi penerus mereka agar budaya dan tradisi tersebut tetap ada.
Anak- anak suku adat yang Sekolah Rumah memang tidak akan memiliki bukti kelulusan dalam belajar seperti anak- anak yang bersekolah di sekolah formal. Dan kehidupan mereka yang bersekolah di Sekolah Rumah juga sangat jauh berbeda dengan kehidupan mereka yang bersekolah di sekolah fomal. Semuanya serba berbeda baik dari segi ilmu pengetahuan yang didapatkan ataupun dari pola kehidupan. Namun dari mereka yang bersekolah di Sekolah Rumah lah yang menjadikan masyarakat suku-suku adat di Indonesia terus ada di bumi ibu pertiwi ini sampai sekarang. Bahkan tidak jarang, justeru mereka yang bersekolah di sekolah formal yang selalu melupakan budaya dan tradisi nenek moyangnya sendiri.
Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan yang membandingkan antara pendidikan formal dan tidak formal. Karena tidak ada, sama sekali tidak ada pemikiran kearah sana saat ide tulisan ini muncul. Tulisan ini hanya sebagai informasi bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup suku- suku adat di Indonesia agar selalu lestari dan ada di bumi ibu pertiwi. Karena dibutuhkan sebuah pendidikan untuk menjadikan sesuatu itu menjadi abadi dan diperlukan sebuah ilmu untuk mengerti dan memahami bahwa kekayaan budaya serta tradisi dan adat istiadat yang ada di Indonesia adalah sebuah karunia yang sangat besar dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus selalu dijaga dan dirawat keberadaannya sebagai sarana syukur kita kepada-Nya. Karena keberlangsungan Indonesia adalah tergantung dari generasi muda Indonesia itu sendiri. Bukan orang lain, tapi kita.


Sayanusantara.blogspot.co.id



Referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_rumah


Suku Baduy, Inilah Alasan Kami Sering Berjalan Kaki Tanpa Alas Ketika Berkunjung Ke Pemerintahan Banten

Karena secara tidak langsung memberikan kita pesan bahwa meskipun dunia sekarang sudah sangat canggih dan cepat, alam semesta haruslah selalu diutamakan keberlangsungannya. Karena kecanggihan atau kecepatan dari modernisasi dunia adalah hasil dari penelitian yang dilakukan manusia terhadap alam



Ada banyak cara yang dilakukan  untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti melaksanakan sebuah ritual adat atau melaksanakan acara syukuran. Disetiap daerah di Indonesia, ungkapan rasa syukur dilakukan dengan cara yang berbeda- beda. Seperti misalnya yang dilakukan oleh masyarakat dari suku Baduy, Banten, yang mensyukuri nikmat dengan cara melaksanakan adat Seba.
Masyarakat Baduy di Banten adalah salah satu masyarakat adat suku yang mempertahankan adat istiadat yang telah di wariskan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka sampai dengan saat ini. Masyarakat suku Baduy tinggal di sebuah desa pedalaman di desa Kenekes, kecamatan Lauwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dan secara umum, masyarakat suku Baduy di Banten tidak mengeyam pendidikan formal seperti masyarakat Indonesia pada umumnya. Para generasi muda suku Baduy belajar dari orang tua mereka yang menjadikan kebajikan hidup,  alam, dan adat istiadat mereka sebagai sarana pembelajarannya. Cara hidup masyarakat suku Baduy di Banten secara umum hampir sama dengan kehidupan masyarakat suku Kajang, di Sulawesi Selatan

Sosok Inilah yang Menjadikan Pasukan Belanda Kocar Kacir Di Pedalaman Kalimantan Pada Masa Pra Kemerdekaan RI

Dibalik keseyapan yang dimiliki Pasukan Hantu, sumpit yang diggunakan sebagai senjata ternyata lebih mematikan dari pada senjata modern Belanda pada saat itu

Pengaruh Belanda pada masa pra kemerdekaan sangatlah besar bagi tanah Nusantara. Selama 350 tahun bangsa Nusantara dijajah untuk mengeksplorasi hasil buminya sendiri demi kepuasan kolonial. Banyak gerakan- gerakan perlawanan untuk menghentikan penjajahan dibentuk oleh bangsa Nusantara walaupun banyak pula gerakan- gerakan tersebut berhasil diredam. Namun walaupun begitu, dari banyaknya daerah yang menjadi kekuasaan dari penjajah, terdapat satu daerah yang tidak berhasil dikuasai oleh Belanda. Daerah itu adalah pedalaman Kalimantan.
Pulau Kalimantan atau Borneo sangat terkenal dengan suku Dayak yang merupakan suku asli pulau tersebut. Suku tersebutlah yang melakukan banyak perlawanan terhadap Belanda yang mengakibatkan Belanda tidak berhasil memasuki daerah pedalaman.  Itulah kenapa pengaruh Belanda dalam sejarah kontemporer hanya berhasil menduduki daerah perkotaan- perkotaan besar saja.

Situs Besemah Sumatra Selatan, Bukti Tanah Nusantara Lebih Dahulu Berbudaya Dibanding Bangsa Lain Di Dunia

Perbedaan jenis serta bentuk artefak Basemah dengan tempat- tempat lain baik di Indonesia ataupun di negara lain menyatakan bahwa telah terjadi perbedaan kebudayaan antara Basemah dengan tempat lain

Indonesia tidak hanya terkenal dengan kebudayaan dan keindahan alamnya. Tapi juga kaya akan sejarah. Banyaknya sejarah- sejarah yang ditemukan di Indonesia membuktikan bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang sangat besar pada masa lalu. Salah satu sejarah yang membuktikan kebesaran bangsa Nusantara itu berada di Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan.
Di kabupaten Lahat terdapat sebuah daerah yang bernama situs Megalit Besemah yang merupakan tempat dengan situs purbakala dari jaman Megalitikum. Situs Megalit di kabupaten lahat bukanlah satu- satunya yang ada di Indonesia. Karena terdapat daerah lain yang juga memiliki situs bersejarah dari zaman megalit. Bahkan ada satu kampung di Nusa Tenggara Barat yang masih mempertahankan adat megalitikum sampai saat ini. Namun walaupun begitu, perbedaan situs megalit Besemah di kabupaten Lahat dari daerah yang lain adalah pada banyaknya situs. Situs Megalit di kabupaten Lahat adalah situs terbanyak yang ada di Indonesia.


Situs Besemah di kabupaten Lahat sudah sangat sering dilakukan penelitian. Pertama kali penelitian diangkat setelah penelitian yang dilakukan oleh L. Ullman pada tahun 1850. Hasil dari penelitian tersebut ditulis olehnya dalam sebuah artikel dengan judul Hindoe balden in binnenlanden van Palembang yang dimuat oleh Indich Archief ditahun yang sama. Dari tulisan L.Ullman tersebut, H.Loffs menyimpulakan bahwa peninggalan dari jaman Megalit tersebut merupakan peninggalan dari masa Hindu.
Penelitian yang dilakukan oleh L.Ullman kemudian dilanjutkan oleh banyak peneliti lainnya. Seperti oleh Tombrink padah tahun 1870, Engelhard pada tahun 1891, Krom tahun 1918, Westernenk tahun 1922, Hoven tahun 1927, Van Eerde tahun 1929, dan Van Der Loop pada tahun 1932. Namun penelitian yang dilakukan oleh Van Eerde menyimpulkan hal yang berbeda dengan yang telah di sampaikan oleh L.Ullman. Menurutnya, situs situs Besemah bukanlah berasal dari masa Hindu, melainkan termasuk dalam jangkauan masa prasejarah. Penelitian yang dilakukan oleh Van Eerde pun disetujui oleh Van Der Loop yang juga menyimpulkan bahwa situs Besemah adalah situs yang lebih tua dari zaman Hindu.
Situs Besemah. Sumber: Pagaralamkite.blogspot.com
Penelitian situs Besemah tidak hanya dilakukan oleh orang asing yang tertarik dengan situs ini, melainkan juga dilakukan oleh peneliti dari dalam negeri. Seperti misalnya yang dilakukan oleh  R.P. Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar, Bagyo Prasetyo yang merupakan peneliti dari pusat penelitian Askeologi Nasional. Namun tidak berarti sampai mereka saja penelitian dilakukan, karena sampai dengan saat ini penelitian masih terus dilakukan secara intentsif dari Balai Arkeologi Palembang.
Selain perbedaan dari banyaknya jumlah, artefak- artefak yang diteliti oleh para peneliti juga menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan lainnya. Salah satu perbedaan yang ditemukan adalah pada artefak sezaman yang ada di Jawa tidak ditemukan patung- patung yang seutuh atau selengkap yang ada di Basemah. Karena artefak- artefak yang biasa ditemukan di Jawa kebanyakan berupa Dolmen atau batu besar penutup kubur, Menhir atau monumen- monumen, dan juga lumping batu. Bahkan pada kampung megalit yang ada di Nusa Tenggara Barat pun tidak ditemukan patung- patung yang selengkap dan sedinamis yang ada di Basemah kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Karena pada waktu yang bersamaan, menurut para peneliti, patung- patung megalit hanya dibisa ditemukan di di Basemah. Bahkan di negera- negara yang lain, diwaktu yang sezaman pula di Eropa dan sebagian besar Asia serta Amerika dan Afrika, hanya ditemukan patung- patung yang berbentuk totem dan artefak megalitik yang bersifat statis atau kaku.


Perbedaan jenis serta bentuk artefak Basemah dengan tempat- tempat lain baik di Indonesia ataupun di negara lain menyatakan bahwa telah terjadi perbedaan kebudayaan antara Basemah dengan tempat lain. Seperti misalnya artefak berbentuk manusia yang ada di Tinggi Hari, Tanjung Telang, Tegur Wangi, Belumai dan Geramat yang telah memakai atribut- atribut seperti pakaian, hiasan kepala, kalung dan gelang kaki. Hal ini menunjukan bahwa Basemah telah mengalami perkembangan kemajuan budaya dibanding tempat lainnya yang sezaman. Namun selain bentuk artefak manusia yang sudah mengenakan assesoris, juga telah ditemukan artefak- artefak manusia yang menunggang kerbau pada situs Belumai, manusia yang menunggang rusa pada situs Geramat, manusia menggending gajah pada situs Tanjung Telang dan juga manusia yang dililit ulat pada situs Tanjung Aro. Artefak pada situs- situs tersebut menunjukan bahwa kemajuan budaya juga mempengaruhi interaksi manusia dengan binatang.
Artefak- artefak di Basemah yang merupakan salah satu tanda bahwa situs megalit di Basemah merupakan budaya yang sangat Sophiscated karena tampilan pahatan yang sangat maju. Dan banyaknya alat- alat yang digambarkan yang terbuat dari perunggu memberikan tanda lain bahwa budaya megalit di Basemah adalah budaya yang telah berkembang dalam arus globalisasi budaya yang sangat pesat. Karena alat- alat perunggu yang dipahat adalah Nekara yang merupakan budaya Dongson dari Vietnam. Budi Wiyana yang merupakan salah satu peneliti dari Balai Arkeologi Palembang  juga telah menemukan banyak peninggalan yang memiliki banyak variasi yang terdiri dari 19 situs megalitik. Baik yang tersebar secara berkelompok ataupun yang sendiri pada tahun 1996.
Dan selain kebudayaan yang berupa patung dan pahatan dari bahan perunggu kemajuan budaya juga dapat dilihat dari kemampuan suku Pasemah yang merupakan suku manusia perba di Sumatra dalam mengatur batu- batu dengan ukuran yang besar, misalnya pada pembuatan kubur batu. Namun tidak hanya dalam pembuatan kubur batu, karena penguasaan teknologi juga terlihat dari adanya lukisan dinding dalam kubur batu tersebut. walaupun sebagian besar lukisan telah hilang namun jejak dari pengusaan teknologi tersebut masih dapat ditemukan dengan jelas di situs Tanjung Aro dan situs Gunung Megang (Jarai).
Situs Besemah. Sumber: Mongabay.co.id
Magister Seni Rupa dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, A. Erwan Suryanegara (2004) dalam tesis berjudul “Artefak Purba dari Basemah, Analisa Ungkap Rupa Patung Megalitik di Basemah" mengemukakan, "Dari hasil penelitian ini diketahui, manusia pendukung budaya megalitik di Basemah cenderung sudah mengenal dan bahkan sudah memanfaatkan alat kerja dari bahan logam (perunggu). Mereka sudah memiliki kemampuan yang baik dalam memahat patung dari batu besar jenis batuan andesit, dengan sudut yang tajam juga runcing. Patung megalitik Basemah secara perupaan wujud fisiknya tampak bersifat dinamis-piktorial dengan gaya ekspresi yang cenderung realistik, tidak mengenal adanya pengulangan bentuk yang sama atau disebut sebagai “tunggal-jamak”, memiliki sikap tubuh yang cenderung condong ke depan, kepala atau wajah sedikit menengadah, dan kaki selalu ditekuk atau dilipat. Sosok objek yang divisualkan cenderung jamak berupa manusia ras austronesoid dan binatang, serta dilengkapi pula dengan simbol maupun atribut. Berdasarkan ungkap rupa simboliknya diketahui, bahwa patung tersebut adalah representasi dari arwah nenek moyang sesuai kosmologi masyarakat Basemah di kala itu, dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari upacara maupun ritual mistis dalam rangka pemujaan terhadap arwah leluhur. Ciri khas patung megalitik Basemah adalah pada gaya perupaannya yang bersifat dinamis-piktorial dan cenderung realistik, merupakan karya patung megalitik terbaik di zamannya khususnya yang berada di wilayah Basemah, karena telah memvisualkan seluruh anggota badan (kepala, badan, kaki, dan tangan) dari sosok objeknya secara lengkap, baik berupa manusia dengan tipe ras austronesoid maupun binatang. Patung-patung megalitik Basemah juga merepresentasikan suatu masyarakat yang berbudaya mistis – agraris dengan pola peladang, dan berjiwa patriotik."
Dari banyaknya peninggalan megalit yang ada Besemah di kabupaten Lahat, Sumatra Selatan, adalah bukti yang menguatkan bahwa bangsa Nusantara adalah bangsa yang sangat besar pada masanya. Bahkan dari banyaknya peninggalan megalit di tanah Besemah ini adalah suatu petunjuk bahwa kawasan ini sudah dihuni manusia setidaknya sejak 2000 sampai 4000 tahun sebelum masehi. Dimana pada masa- masa itu suku Besemah sudah mengenal pahatan dengan detail yang halus yang menunjukan bahwa pada masa itu suku Besemah sudah mengenal Logam. Jadi sangat wajar jika pada masa yang lalu negeri Nusantara adalah negeri yang sangat maju dan sangat dihormati oleh dunia karena memiliki kebudayaan yang sangat maju pada saat negeri lain semasanya belum mengenal kemajuan budaya. Dan sangat tidak wajar jika sebagai generasi penerus hal ini tidak menginspirasi

kita untuk lebih mencintai tanah Nusantara ini atau bahkan cuek oleh warisan nenek moyang yang sangat kaya dan tidak ternilai ini sehingga sama sekali tidak mempengauhi sedikitpun perilaku kita dalam menjaga dan mempertahankan tanah Nusantara ini.

Sayanusantara


Referensi
1.https://id.wikipedia.org/wiki/Megalit_Basemah
2.http://jemepadangguci.blogspot.co.id/2015/06/situs-peninggalan-megalitikum-tanah.html


Suku Kajang, Duta Keseimbangan Alam Dan Manusia Tanpa Modernisasi

Masyarakat suku Kajang yang melanggar aturan adat akan mendapat hukum adat yang berupa pengucilan. Pengucilan yang didapatkan tidaklah bersifat sementara, tetapi berlaku bagi semua keluarga si pelanggar sampai dengan generasi ketujuh.

Berkembangnya dunia menuju modernisasi seakan tidak bisa dibendung. Karena hampir diseluruh sendi kehidupan ini, dalam waktu yang sangat cepat, modernisasi selalu meng-update diri untuk selalu dapat berkembang. Segalanya menjadi cepat, baik perkembangan informasi ataupun tuntutan untuk memenuhinya. Namun dari berbagai macam perkembangan zaman modern, masih banyak terdapat suku- suku di Indonesia yang tidak terpengauh olehnya. Mereka tetap mempertahankan tradisi adat istiadat yang sudah diwariskan nenek moyang mereka sampai dengan saat ini. Salah satu suku itu adalah suku Kajang yang ada di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Suku Kajang. Sumber: Ammatoa.com
Namun ketika kita datang ke Sulawesi Selatan, jangan sampai kita heran ketika kita menyebut nama Kajang yang kita dapatkan adalah informasi tentang ilmu guna- guna atau Doti dalam bahasa sekitar. Hal ini terjadi karena suku Kajang terkenal karena Doti yang merupakan bagian dari keyakinan animisme yang masih mereka yakini sampai dengan saat ini. Istilah keyakinan inilah yang kadang dipopulerkan oleh orang bugis-Makassar yang mengatakan, “cinta ditolak doti melayang”. Doti suku Kayang terkenal karena keampuhannya yang ketika mengenai seseorang, umur dari orang yang terkena Doti tidak akan lama.
Namun suku Kajang bukan hanya terkenal karena Doti, tapi juga karena prinsipnya. Suku Kajang memiliki sebuah prinsip yang mereka pegang dengan erat sampai dengan saat ini.  Prinsip tersebut berbunyi “Tallase Kamase-Mase” yang bermakna hidup apa adanya. Hidup dengan apa adanya dalam sebuah kesederhanaan merupakan sejenis ideologi yang berperan sebagai sebuah pemandu serta rujukan nilai dalam menggerakan kehidupan sehari- hari mereka.
Beberapa kesederhanaan yang terlihat dari keseharian masyarakat suku Kajang terlihat dari pakaian serta rumah tempat mereka tinggal. Suku Kajang dalam kesehariannya tidak menggunakan pakaian yang berwarna mencolok. Mereka hanya menggunakan pakaian berwarna hitam. Warna hitam sudah seperti sebuah simbol bagi masyarakat suku Kajang. Karena bagi suku Kajang, warna hitam memiliki filosofi hidup tersendiri. Warna hitam adalah simbol dari gelapnya rahim di kandungan ibu kembali ke gelapnya liang kubur saat meninggal. Bagi masyarakat suku Kajang, pakaian hitam bermakna sebuah kebersahajaan, kesederhanaan, kesamaan dan juga kesetaraan masyarakatnya
Kesederhanaan suku Kajang tidak hanya terlihat dari cara berpakaian mereka. Tapi juga terlihat dari rumah tempat mereka tinggal. Jika diperhatikan, terdapat keunikan pada setiap rumah yang ada di suku Kajang, karena semua rumah dibangun dalam bentuk, ukuran, arah rumah serta bahan pembentuk rumah yang sama. Keseragaman yang terlihat pada bentuk rumah ini memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat suku Kajang. Yaitu untuk menghindari rasa saling iri didalam kelompok mereka sendiri.
Suku Kajang. Sumber: Ammatoa.com
Suku Kajang dalam membangun rumah, berbeda dengan rumah pada umumnya. Karena rumah suku Kajang tidak berdinding tembok. Selain itu didalam rumah juga tidak akan ditemukan benda- benda elektronik yang biasa dijumpai pada rumah- rumah lainnya. Hal ini karena menurut suku Kajang benda- benda elektronik itu dianggap sebagai sebuah pengaruh buruk yang dapat menjauhkan mereka dari alam dan para leluhur. Karena masyarakat suku Kajang meyakini bahwa bumi ini adalah sebuah warisan nenek moyang yang berkualitas dan seimbang.
Bentuk rumah suku Kajang adalah bentuk yang berbeda dengan rumah adat di Sulawesi Selatan pada umumnya yang berbentuk rumah panggung. Karena selain bentuknya yang sama dengan rumah lainnya di dalam suku Kajang, ruangan pertama ketika kita memasuki rumah suku Kajang adalah dapur. Dapur yang berada diruang depan rumah ini memiliki tujuan khusus yang bertujuan untuk menunjukan kepada tamu yang datang berkunjung apa- apa saja yang dimiliki tuan rumah. Karena bagi suku Kajang, seorang pemilik rumah dapat tercermin dari keadaan rumahnya.  Dan dengan dapur yang ada di bagian depan rumah adalah memperlihatkan tidak ada yang disembunyikan dari pemilik rumah kepada tamu yang datang.
Suku Kajang adalah salah satu suku yang masih memegang erat warisan leluhur mereka sampai dengan hari ini. Salah satunya adalah dalam penggunaan bahasa sehari- hari. Masyarakat suku Kajang dalam keseharian menggunakan bahasa Konjo. Pada umumnya masyarakat suku Kajang, tidak pernah merasakan duduk di bangku pendidikan formal. Sehingga tidak heran jika kebanyakan orang suku Kajang tidak berbahasa Indonesia.
Pendidikan yang didapatkan oleh generasi muda suku Kajang datang dari pengalaman hidup orang tua serta tradisi dan adat yang sudah ada. Sehingga sangat wajar jika adat dan tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun tidak hilang. Pengajaran yang didapat oleh anak- anak yang tidak belajar di sekolah formal sama halnya dengan essensi dari home schooling pada umumnya. Sehingga anak dapat mengetahui pengetahuan apa yang dimiliki orang tuanya dan orang tua dapat mengetahui perkembangan dari anak secara langsung.
Walaupun tidak pernah bersekolah formal, suku Kajang memiliki struktur kepemimpinan tersendiri. Struktur kepemimpinan ini mengatur segala kehidupan masyarakat suku Kajang sehingga berjalan sesuai dengan ketentuan adat. Semua orang di suku Kajang memiliki posisi tersendiri dalam struktur kepemimpinan ini yang harus dilaksanakan secara jujur, tegas, dan konsisten. Struktur kepemimpinan suku Kajang yang mengenai setiap orang dalam masyarakatnya ini secara tidak langsung mengajarkan kepada masing- masing orang tentang arti tugas dan tanggung jawab. Struktur kepemimpinan dalam suku Kajang dipimpin oleh Ammatoa.

baca juga: Pertama kali di bahas!! Siapa bilang mereka tidak sekolah? ada makna Homeschooling dibalik pendidikan masyarakat suku adat di Indonesia.

Ammatoa adalah pemimpin tertinggi dalam suku Kajang yang merupakan pelaksana pemerintahan di dalam struktur kepemimpinan suku Kajang. Ammatoa inilah yang bertanggung jawab pada pelestarian serta proses Pasang di suku Kajang. Pasang adalah semacam petuah atau hukum yang tidak tertulis yang tersampaikan secara lisan kepada leluhur.  Hukum tidak tertulis atau Pasang disebut juga dengan Pasang Ri Kajang. Ajaran dalam hukum adat tidak tertulis ini dinilai sangat ampuh dalam mempertahankan keberlangsungan adat di suku Kajang.
Salah satu hal yang sangat dijaga oleh Ammatoa dan masyarakat suku Kajang adalah hutan yang berada di sekitar pemukiman masyarakat suku Kajang. Ammatoa membagi hutan- hutan di sekitar tempat tinggal suku Kajang menjadi tiga bagian. Yaitu kawasan hutan Karamaka atau hutan keramat, hutan Batasayya atau hutan perbatasan, serta hutan Laura atau hutan rakyat. Masing- masing hutan ini dijaga oleh peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh masyarakat suku Kajang.
Seperti misalnya adat yang mengatur dalam penggunaan hutan Karamaka atau hutan keramat. Hutan ini disebut sebagai hutan keramat karena dianggap sebagai hutan pusaka dan melarang segala aktifitas di dalamnya. Hutan ini termasuk hutan lindung karena masyarakat suku Kajang meyakini hutan ini sebagai tempat turunnya manusia pertama kali ke bumi. Pada hutan ini juga, masyarakat suku Kajang meyakini, tempat naik turunnya arwah dari bumi kelangit atau sebaliknya. Sehingga hutan ini hanya dikhususkan untuk acara ritual saja.
Hutan Batasayya agak berbeda dengan hutan Karamaka. Karena beberapa pohon dapat ditebang untuk diambil kayunya. Tapi walaupun dapat menebang pohonnya, orang yang ingin menebang pohon haruslah mendapatkan izin dari Ammatoa. Ammatoa hanya mengizinkan masyarakat menebang pohon untuk keperluan pembangunan fasilitas umum. Dan setelah mendapatkan izin untuk menebang pohon, masyarakat yang menebang pohon di hutan Batasayya diwajibkan untuk menanam pohon yang baru sebagai penggantinya. Dan untuk penebangan selanjutnya haruslah dilakukan setelah pohon tersebut tumbuh menjadi besar. Biasanya penebangan pohon dilakukan dengan menggunakan alat tradisional dan dilakukan secara gotong royong untuk mengeluarkannya dari area hutan.
Dan lalu ada hutan Laura yang merupakan hutan rakyat. Namun walaupun dinamakan hutan rakyat, hutan ini tetap memiliki aturan tertentu yang tidak boleh dilanggar masyarakat. Hutan ini dikuasai dan dikelola oleh masyarakat suku Kajang.
Hutan- hutan yang terdapat di wilayah suku Kajang diatur dengan sangat ketat dalam sebuah aturan adat. Dimana ketika ada masyarakat yang melanggarnya, maka si pelanggar akan dikenakan denda yang juga telah diatur oleh adat. Selain dikenakan denda, orang yang melanggar aturan adat akan mendapat hukum adat yang berupa pengucilan. Pengucilan yang didapatkan tidaklah bersifat sementara, tetapi berlaku bagi semua keluarga si pelanggar sampai dengan generasi ketujuh.
Hukum adat yang sangat mengikat didalam suku Kajang dimaksudkan untuk menjaga perilaku masyarakat agar selalu hidup secara serasi dengan alam. Dan tugas Ammatoa lah untuk mendoakan manusia dan seisi alam agar terjauhi dari bahaya yang bisa datang kapan saja. Hal lain yang diyakini oleh masyarakat suku Kajang adalah daerah tempat mereka tinggal, Tanah Towa, adalah tanah tertua yang ada di dunia sebelum adanya kehidupan di muka bumi.
Suku Kajang. Sumber: bugismakassartrip.blogspot.com
Konsep hidup masyarakat suku Kajang yang hidup secara selaras dengan alam menjadi perhatian bagi banyak kalangan. Baik dari kaum akademisi sampai dengan lembaga pemerhati lingkungan. Seperti yang dinyatakan oleh Agus Mulyana yang merupakan perwakilan dari Center for International Forestry Research atau CIFOR yang menyatakan bahwa di desa Ammatoa yang merupakan salah satu desa suku Kajang, ditemukan titik keseimbangan antara lingkungan dan masyarakat manusia. Hal ini terlihat dari bagaimana masyarakat menjaga kawasan desa mereka yang sebagian besar adalah hutan. Terlebih, hutan desa Ammatoa diketahui memiliki jenis kayu biti atau nama latinnya Vitex Cofassus dengan kualitas tinggi. Jenis kayu ini adalah kayu terbaik yang biasa digunakan untuk pembuatan kapal Phinisi.
Salah satu hal unik yang dimiliki oleh suku Kajang adalah mereka menolak kemajuan teknologi yang ada didunia. Karena mereka memiliki keyakinan tersendiri dalam menjalai hidup, yaitu keyakinan untuk hidup secara cukup. Masyarakat suku Kajang memanfaatkan apa yang sudah disediakan alam kepada mereka dengan sewajarnya untuk tetap menjaga kelestariannya. Dan sebagai sebuah keyakinannya, masyarakat suku Kajang memeluk sebuah keyakinan yang biasa disebut dengan nama Patuntung, atau yang dalam bahasa Indonesianya bermakna ‘mencari sumber kebenaran’.
Suku Kajang adalah suku yang sangat dikenal karena adatnya. Karena mereka yakin bahwa dengan adat yang mengatur hidup dan kehidupan manusia itu, manusia bisa hidup dengan serasi dengan alamnya. Seperti yang dikatakan oleh Agus Mulyana, dimana dengan adat yang dipegang teguh ini, suku Kajang dapat menciptakan titik keseimbangan antara manusia dan alam. Karena pada saat dunia mencoba untuk menciptakan keseimbangan alam dengan menciptakan modernisasi, suku Kajang tampil memberikan contoh bahwa untuk menciptakan sebuah keseimbangan hidup antara manusia dengan alam, manusialah yang harus hidup menyatu dengan alam.

Sayanusantara.blogspot.co.id


Referensi:
1.http://andihasbijaya.blogspot.co.id/2014/03/mengenal-suku-kajang-di-bulukumba.html
2.http://wisatasulawesi.com/mengenal-lebih-dekat-budaya-tana-toa-kajang-bulukumba/
3.http://travel.kompas.com/read/2013/06/28/1857219/Desa.Ammatoa.Tanpa.Listrik.Mobil.dan.Motor
4.http://www.kidnesia.com/Kidnesia2014/Indonesiaku/Teropong-Daerah/Sulawesi-Selatan/Seni-Budaya/Suku-Kajang-Baduynya-Sulawesi-Selatan


<< Sebelumnya             Selanjutnya >>

Terbaru

13 Fakta Kerajaan Majapahit: Ibukota, Agama, Kekuasaan, dan Catatan Puisi

  Pendahuluan Sejarah Kerajaan Majapahit memancarkan kejayaan yang menakjubkan di Nusantara. Dalam artikel ini, kita akan menyelami 20 fakta...